Renungan Untuk Calon Pemimpin

ALKISAH, 1.400 tahun lalu. Tersebutlah putra mahkota Yaman tiba di Madinah dengan pakaiaN mewahnya. Lalu dilihatnya sang khalifah Abu Bakar hanya mengenakan dua lembar kain warna cokelat, yang selembar menutupi pinggang dan selembar lainnya menutupi sisa badannya. Putra mahkota itu menangis dan langsung melempar pakaian mewahnya sembari berkata, “Dalam Islam, saya tidak menikmati kepalsuan ini.”


Pada suatu malam, ketika maut menjemput, Abu Bakar bertanya pada putrinya Aisyah, berapa jumlah kain kafan Nabi. Aisyah menjawab, “Tiga.” Abu Bakar langsung menyuruhnya untuk lekas mencuci dua kain yang tengah ia pakai, dan disuruhnya Aisyah membeli sisa satu kain. Tetes air mata Aisyah tak terbendung lagi. Pasalnya, sebenarnya sang ayah tak semiskin itu. Tapi Abu Bakar malah berkata, kain yang baru lebih berguna untuk orang yang hidup ketimbang untuk orang yang telah meninggal.

Adalah Umar Bin Abdul Aziz yang menolak kendaraan dinas kerajaan yang serba wah pada zamannya ketika ia dinobatkan sebagai presiden. Ia berkata, “Aku tak memerlukannya. Jauhkanlah kendaraan itu dariku. Bawalah keledaiku ke sini. Itulah kendaraan yang cocok untukku”.

Akhirnya, tahukah Anda, Umar Bin Abdul Aziz sang penguasa negara adidaya kala itu ternyata tak punya cukup dana untuk menunaikan ibadah haji, sampai suatu ketika asistennya mengatakan bahwa jumlah uang hasil gajinya sebagai presiden telah cukup untuk biaya perjalanan haji. Namun Umar menjawabnya, “Telah lama kami pergunakan uang ini, sekarang umat Islam berhak menikmatinya.” Lalu ia memasukkan hasil pendapatannya ke kas negara.

Duh, betapa indahnya negara ini jika saja para pemimpin dan jajaran elite-nya bisa seperti mereka. Kalau bermewah-mewah mereka ogah, apalagi menjadi pelaku tindak korupsi. Kalau senantiasa takut pada hisab di akhirat, mana mungkin mereka menghambur-hamburkan uang rakyat dengan berbagai bungkus; studi banding ke luar negeri, dana mobilitas, atau tunjangan fungsional khusus.

Ini semestinya menjadi renungan bagi para pemimpin atau calon pemimpin, baik pemimpin struktural pemerintahan (mulai dari lurah hingga presiden) ataupun pemimpin opini dan aspirasi masyarakat (anggota Dewan). Memang, generasi sahabat adalah generasi terbaik dan umat sesudahnya tak akan bisa lebih baik. Tetapi, cukup realistis kalau kita sekarang mencoba meneladani perilaku mereka, meski harus tertatih, meski hanya beberapa persen saja dari apa yang pernah mereka suguhkan pada sejarah.

Wahai para (calon) pemimpin di negeri ini, dengarlah apa yang diucapkan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra ketika dilantik menjadi khalifah:

“Wahai ummat manusia, aku telah diangkat menjadi khalifah, padahal aku tidaklah lebih baik dari tuan-tuan. Kalau aku berbuat baik maka bantulah aku, dan kalau aku menyeleweng luruskanlah jalanku! Kebenaran adalah amanah, dan kedustaan adalah khianat. Orang yang tertindas di antara kamu adalah kuat dalam pandanganku, sehingga akan kuserahkan kepadanya haknya. Dan orang perkasa di antara kamu, adalah kuanggap lemah, sehingga aku akan mengambil hak daripadanya insya Allah. Janganlah tuan-tuan meninggalkan jihad, sebab Allah menimpakan kehinaan kepada kaum yang tidak berjihad. Taatilah aku selama aku tetap menaati Allah dan Rasul-Nya. Kapan aku telah mendurhakai Allah, aku tak usah kamu taati lagi. Tunaikanlah shalat semoga Allah akan memberikan rahmat kepadamu!”.

Sebuah pidato yang menyentuh, apalagi terbukti ucapan itu bukan sekadar retorika pemanis bibir. Sebagai kepala negara, Abu Bakar sebetulnya berhak untuk mendapatkan nafkah atas keluarganya daro Baitul Mal. Namun selama enam bulan hak itu tak diambilnya. Sehingga, beliau menggunakan separuh harinya untuk berdagang. Setelah enam bulan terasa bahwa waktunya tak cukup untuk mengurus pemerintahan (karena digunakan juga untuk berdagang), maka Abu Bakar pun mau menerima uang 600 dirham setahun dari Baitul Mal. Sekadar cukup untuk ongkos hidup diri dan keluarganya.

Begitulah As-Shidiq, meski diberi hak nafkah, toh tetap tak bisa nyaman menggunakannya. Bahkan beliau berpesan kepada keluarganya agar jumlah gaji yang telah diterima itu dibayar kembali dengan sisa kekayaannya sebagai hutang, setelah beliau wafat nantinya.

Menjelang wafat, Abu Bakar berpesan kepada putrinya, Aisyah ra:

“Sesungguhnya kami semenjak diangkat menjadi khalifah, tidak pernah kami ambil barang sedinar atau sedirham pun harta kaum muslimin, tetapi kami telah memakai kain kasar mereka dan telah memakan makanan tumbuk kasar mereka. Kini tak ada lagi sisa harta padaku, kecuali seorang budak ini, seekor unta ini, dan sebatang sayur qatifah ini. Kalau nanti aku telah meninggal, wahai Aisyah, kirimkan semua ini pada Umar sebagai pembayar hutangku.”

Pemimpin harus menyadari tanggung jawabnya yang besar. Sungguh aneh di zaman ini, orang justru berlomba mengejar beban kepemimpinan itu. Inilah persoalannya; posisi pemimpin lebih dimaknai sebagai berkah ketimbang sebagai amanah. Maka begitu seseorang terpilih menjadi pemimpin (khusunya di wilayah yang ‘basah’), dia langsung ‘sujud syukur’ yang dilanjutkan dengan pesta pora menyambut keberhasilannya memperoleh posisi baru yang ‘empuk’.

Entahlah, mungkin mereka lupa bahwa setiap tanggung jawab akan ditanyakan oleh Allah di akhirat kelak, sesuai dengan tingkat kepemimpinannya. Rasulullah bersabda”

“Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu akan ditanya dari hal yang kamu pimpin. Suami akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Istri memelihara rumah tangga suaminya dan akan ditanya hal yang dipimpinnya. Pelayan memelihara milik majikannya dan akan ditanya dari hal yang dimintanya.” (HR Bukhari, Muslim).


Islam menempatkan kepemimpinan sebagai amanah, yang akan diberikan hanya kepada orang yang mampu menunaikannya. Rasulullah pernah berpesan kepada Abu Dzar ketika dia meminta jabatan.

“Hai Abu Dzar, kamu seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai amanah yang pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali orang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya dan memenuhi tanggung jawabnya.” (HR Muslim).


Karena sedemikian berat tanggung jawab seorang pemimpin, beberapa persyaratan harus dipenuhinya, seperti taqwa kepada Allah, kepahaman kepada syariat Allah, bisa bersikap adil, kemampuan dan kecakapan serta kondisi fisik dan mental yang memungkinkan.

Berat memang menjadi pemimpin, tapi Allah Maha Adil, karena ada balasan setimpal bagi pemimpin yang amanah. Di dunia, menjadi hak pemimpin untuk ditaati. Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu….” (QS. An Nisaa:59).


Di akherat, Allah telah menjanjikan pahala yang besar. Seperti disampaikan Rasulullah:

“Ada tujuh golongan yang bakal bernaung di bawah naungan Allah, pada hari tiada naungan kecuali naungan Allah: Imam (pemimpin) yang adil…..” (HR. Bukhari, Muslim).

“Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, kelak di sisi Allah akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya, ialah mereka yang adil dalam hokum terhadap keluarga dan apa saja yang diserahkan (dikuasakan) kepada mereka.” (HR.Muslim)

“Orang-orang ahli surga ada tiga macam: pemimpin yang adil, mendapat taufiq hidayah (dari Allah), dan orang yang berbelas kasih, lunak hati kepada sanak kerabat dan orang muslim, dan orang miskin berkeluarga yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri.” (HR.Muslim).


Akhirnya kita hanya bisa berharap, semoga para pemimpin atau mereka yang mengangankan menjadi pemimpin sadar akan beban yang sedang atau akan disandangnya. Sehingga, mereka mampu melihat dan merasakan posisi kepemimpi+nan sebagai amanah bukan sebagai berkah!

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih koment disini