Perkuat Peran KPK hingga ke Daerah


 SEBANYAK 35 persen proyek pengadaan barang dan jasa dalam APBN 2010 berpotensi dikorupsi. Nilainya mencapai Rp114 triliun. Jumlah yang fantastis dan teramat besar bagi negara miskin seperti Indonesia.Hal itu diutarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam forum resmi di Jakarta, Rabu (2-12)--Lampung Post, Kamis (3-12). Itu baru potensi korupsi untuk satu tahun APBN. Bagaimana dengan proyek APBN sebelumnya? Proyek yang dibiayai APBD provinsi dan kabupaten/kota juga pasti idem dito dengan proyek APBN.
 Kita bisa bayangkan jika uang Rp114 triliun itu tidak bocor ke mana-mana. Pasti negara tak perlu ragu merealisaikan Jembatan Selat Sunda. Berjuta-juta rakyat miskin terselamatkan, petani di desa terbantu, serta jutaan sekolah dan puskesmas bisa dibangun setiap tahun.
Rakyat pun tidak lagi setiap waktu mengeluhkan jalan rusak, irigasi, dan byarpet listrik. Jika semua proyek berjalan normal, jutaan pekerja kita bisa terserap sehingga TKI tidak terus-menerus diperbudak negara asing.
Korupsi dalam proyek pemerintah sangat mudah dibuktikan. Amati saja kualitas jalan di sekitar kita. Hujan sebentar saja, air tergenang di mana-mana. Alhasil, aspal mudah terkelupas dan jalan cepat berlubang. Kondisi serupa terjadi pada proyek pembangunan gedung.
Selama ini, pengelola proyek memakai logika bisnis. Bagaimana mendapat fulus besar dengan cara cepat. Untuk itu, semua pihak yang terkait dengan proyek "dibereskan". Mutu tak lagi penting. Asalkan proyek berjalan, dan pemberi proyek menerima hasilnya, tidak ada masalah. Kritik dan keluhan publik dianggap seperti angin lalu. Logika tidak waras itu terus dipakai untuk menjaga rutinitas perolehan proyek baru.
KPK mencatat, maraknya kasus korupsi pengadaan barang dan jasa karena sistem yang tertutup dan tidak akuntabel. Seperti proyek tidak melalui tender, tetapi lewat penunjukan langsung dengan menyiasati aturan.
 Modus lain "mengakali" proyek adalah melalui mark up nilai proyek. Pola ini akhirnya menimbulkan kasus-kasus suap. Bahkan, ada yang lebih nekat dengan membuat proyek fiktif.
Apa pun modusnya, korupsi proyek sangat mudah jika dilakukan dengan berjemaah. Jika bermain sendiri, tidak akan mendapat apa-apa. Alih-alih mendapat fulus, bisa-bisa dijebak dan terjerat hukum. Agar aman dan untung harus berkolusi dengan pejabat negara. Celakanya, jasa wakil rakyat (legislatif) pun diperlukan untuk mengamankan proyek. Bahkan, tak terbilang anggota Dewan terhormat yang bermain proyek.
Praktek-praktek  seperti itu sudah berlangsung sejak pembangunan nasional dimulai tahun 1970-an. Di awal 1980-an, para ekonom kita seperti Emil Salim dan Soemitro Djojohadikusumo juga pernah mengemukakan minimal 30 persen kebocoran anggaran pendapatan dan belanja negara bersumber dari kegiatan pengadaan barang dan jasa.
Belajar dari pengalaman selama ini, pembenahan sistem pengadaan barang dan jasa mutlak diperlukan. Awasi ketat perjalanan proyek di setiap lini untuk mencegah peluang korupsi. Sebab, pencegahan adalah bagian terpenting dalam upaya pemberantasan korupsi.
Tapi, pengawasan saja tidak cukup karena selama ini oknum-oknum di lembaga pengawas pun ikut berkolusi. Agar pengawasan lebih efektif, maka belum ada jalan lain kecuali memberi lebih besar kepada KPK dan memperluas jangkauannya hingga ke daerah.
Jika selama ini KPK lebih fokus pada koruptor kakap di level nasional, sudah saatnya korupsi di level daerah juga dibidik. Sebab, jumlah uang negara yang dikorup lewat proyek APBD provinsi dan kabupaten/kota juga besar.

sumber: Lampung Post 4 Desember 2009

Kesadaran Melawan Korupsi


PDF
Cetak
E-mail

klitgaardKetika komitmen penguasa terhadap pemberantasan korupsi diragukan, harapan yang tersisa kini hanya berada di pundak masyarakat sipil yang kritis dan memiliki integritas.

Guru besar kebijakan publik John F Kennedy School of Government Harvard University, Robert Klitgaard, mengatakan, tanpa dukungan masyarakat sipil dan integritas, jangan pernah bermimpi bisa menyelesaikan korupsi.

Klitgaard datang ke Jakarta sebagai pembicara dalam Workshop Koordinasi Nasional Jaringan Pendidikan Integritas Masyarakat atas kerja sama Universitas Paramadina dengan TIRI-Making Integrity Work.

Menurut Klitgaard, korupsi lebih banyak terjadi di tempat yang tidak demokratis dan tidak menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang baik. Selain itu, korupsi biasanya marak di negara yang tak memiliki kebebasan pers, peran pemerintah dalam ekonomi demikian luas, di tempat perang dan kondisi gawat darurat di mana pegawai sipil yang berkualitas rendah dibayar murah, sektor swasta kurang berperan dan terjadi monopoli, serta aturan-aturan perekonomian tidak jelas.

Menurut Klitgaard, korupsi memiliki korelasi sistemik dengan pemusatan dan monopoli kewenangan. Rumusnya adalah C > M+D-A. Huruf ”C” untuk korupsi, ”M” untuk monopoli, ”D” kewenangan, dan ”A” untuk akuntabilitas.

Berikut petikan wawancara dengan Klitgaard:

Bagaimana Anda menjelaskan upaya pelemahan lembaga pemberantas korupsi di Indonesia?

Saya tidak bisa memberikan penilaian khusus mengenai kasus ini. Tapi, saya bisa memberikan gambaran secara umum bahwa di banyak negara komisi pemberantasan korupsi bisa saja dilemahkan sebagaimana polisi dan kejaksaan bisa dilemahkan.

Demikian sebaliknya, lembaga penegak hukum dan pemberantas korupsi juga bisa korup atau melakukan kesalahan. Contohnya di Afganistan, di mana kepala pemberantasan korupsi ditangkap terkait kasus obat terlarang.

Saya pernah bekerja di Bolivia untuk mereformasi polisi di sana. Pada pertemuan pertama, saya bertemu dengan 25 petinggi polisi. Tiba-tiba seorang perwira menengah berkata, ”Jenderal, saya menolak jika Profesor ini mengatakan lembaga kita korup.” Namun, pimpinan polisi itu mengatakan, ”Kita memang korup, jadi duduklah.”

Kunci untuk menyelesaikan korupsi di institusi penegak hukum adalah kita mesti beranjak dari sikap menolak dan membela diri dan terbuka menata sistem yang lebih baik. Kunci berikutnya, membuka akses pengawasan oleh publik dan mendengarkan kritik dari masyarakat luar.

Bagaimana berharap lembaga yang korup itu mau menata diri?

Memang mengejutkan, di banyak negara, institusi yang paling korup adalah kepolisian. Ini bisa diatasi jika kita berhenti berpikir siapa pejabat yang korup. Tapi, kita harus berpikir bagaimana memperbaiki sistemnya.

Bagaimana caranya agar institusi itu mau menata diri?


Pertanyaan ini sama dengan kenapa negara yang semula diktator dan korup beranjak menjadi negara yang demokratis. Semua ini terjadi karena munculnya kesadaran kritis dan besarnya tekanan publik. Ada gerakan zaman untuk mengarah ke sana.

Dan, Indonesia beruntung karena besarnya kekuatan publik untuk melawan korupsi, misalnya pada 1998 yang mampu menumbangkan rezim yang KKN. Indonesia memiliki gerakan sipil sangat kuat. Ini potensi besar karena banyak negara yang tidak memiliki kekuatan ini. Dalam 10 tahun terakhir ini, gerakan sosial sepertinya semakin besar.

Apa yang bisa dilakukan jika korupsi terjadi di puncak kekuasaan?

Saya tidak bisa bicara khusus tentang Indonesia. Tapi, di banyak negara pemimpin bisa saja penyebab terjadinya korupsi, terutama jika kekuasaan berlangsung terlalu lama, gaji sangat redah, para penguasa tak punya integritas dan kesempatan untuk melakukan itu terbuka. (AIK)
Sumber: Kompas, 24 November 2009

BEDAH KORUPSI

APAKAH KORUPSI ITU
 
Secara sederhana, korupsi adalah penyalahgunaan sumber daya publik untuk keuntungan pribadi. Ahli sosiologi korupsi, Syed Husein Alatas mendefinisikan bahwa korupsi pada intinya adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi.
Bagaimanakah suatu perbuatan itu bisa digolongkan korupsi dan bukannya sebagai pencurian, perompakan, dsb? Meskipun sebenarnya esensinya adalah sama, tetapi korupsi tetap memilikiciri-ciri korupsi tersendiri. Berikut ciri-ciri korupsi menurut Alatas:
a) Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan
b) Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta dan masyarakat umumnya
c) Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus
d) Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang yang berkuasa atau bawahannya menganggap tidak perlu
e) Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak,
f) Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain,
g) Terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya,
h) Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum, dan
i) Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi.

Korupsi dapat dirumuskan sebagai sebuah persamaan untuk memudahkan pemahaman :

C = N + K

Kriminal/Korupsi = Niat + Kesempatan
Sering diperdebatkan apakah korupsi itu merupakan masalah moral atau sistem. Dikaitkan dengan
rumusan diatas dapat dikatakan :

N [niat] dapat dihubungkan dengan faktor moral, budaya, individu, keinginan, dsb;
K [kesempatan] dapat dihubungkan dengan faktor sistem, struktur sosial, politik dan ekonomi, struktur pengawasan, hukum, permasalahan kelembagaan, dll.

Perpaduan berbagai faktor tersebut itulah yang menyebabkan korupsi. Artinya, apabila ada niat untuk melakukan korupsi tetapi tidak ada kesempatan, maka perbuatan korupsi tersebut tidak akan terjadi. Sebaliknya bila kesempatan untuk melakukannya terbuka lebar tetapi niat untuk melakukannya sama sekali tidak ada, maka tindak korupsi juga tak akan terjadi.

Selain rumusan diatas, rumusan dari Robert Klitgaard mengenia korupsi:

C = M + D – A

Corruption = Monopoly + Discretion – Accountability
Monopoly : Penguasaan ekonomis terhadap aset
Discretion : Kewenangan mengelola aset
Accountability : Pertanggungjawaban

Berdasarkan rumusan tersebut, semakin besar kekuasaan ekonomi dan kewenangan pengelolaan aset dan semakin rendah kewajiban pertanggungjawaban dari suatu institusi/person, maka semakin tinggi potensi korupsi yang dimiliki.

Salah satu rumusan mengenai monopoli sumber daya dan kekuasaan di Indonesia adalah Bureaucratic Polity dari Karl Jackson. Intinya Jackson melihat bahwa Indonesia adalah suatu sistem politik yang kekuasaan dan partisipasi dalam pembuatan keputusan nasional terbatas pada tingkat tertinggi birokrasi, militer dan teknokrat. Jackson kemudian menambahkan bahwa mereka –para pemegang kekuasaan itu —jumlahnya kurang dari 1000 orang terdiri dari para pejabat publik dan keluarganya, suatu jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan penduduk Indonesia. Elit politik
secuil dengan kekuasaan yang maha besar dan tanpa pengawasan ini [M + D – A], akhirnya menjadi sumber kesewenang-wenangan dan korupsi


BAGAIMANA CARA KORUPTOR BEKERJA?

Sebenarnya cara kerja koruptor dimanapun sama saja, yang membedakan adalah kesempatan yang berbeda karena dimensi waktu dan tempat yang berbeda. Sebagai contoh Robert Klitgaard dalam pengamatannya terhadap BIR [Dirjen Pajak Filipina] menemukan bahwa korupsi di BIR dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk, korupsi eksternal dan internal. Yang pertama, korupsi eksternal, yaitu korupsi yang dilakukan seseorang [suatu pihak] dalam berhubungan dengan pihak luar lembaganya. Beberapa bentuk yang ditemukannya adalah:
1. Pembayaran untuk jasa-jasa wajib, yaitu uang pelicin atau tambahan uang untuk melancarkan jasa yang seharusnya dilakukan tanpa biaya atau dengan biaya resmi yang kecil.
2. Pembayaran bagi jasa-jasa yang tidak halal. Jenis ini adalah uang yang dibayarkan untuk dilakukannya suatu pekerjaan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi pembayar.
3. Pungutan uang untuk menjamin agar seseorang tidak dirugikan. Model ini memanfaatkan ketidaktahuan orang mengenai sesuatu/information assymmetry, sehingga orang yang mempunyai informasi dapat meminta uang atas jasa yang dilakukan dengan informasi tersebut.

Kedua adalah korupsi internal, yaitu korupsi yang dilakukan seseorang [suatu pihak] dalam lingkup lembaganya sendiri. Bentuknya adalah:
1. Penggelapan melalui pemalsuan catatan. Yang dilakukan adalah membuat catatan palsu yang dapat memberinya keuntungan atas catatan tersebut.
2. Mencetak label dan materai secara berlebihan. Korupsi jenis ini dilakukan dengan mencetak suatu dokumen atau leges palsu yang dapat dijual atau mendatangkan uang.
3. Jual-beli jabatan. Jenis ini dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan untuk menentukan jabatan seseorang. Jenis ini dapat dilakukan melalui mekanisme sogokan, nepotisme dan pengaruh untuk mendapatkan suatu jabatan.
4. Menunda setoran, yaitu memperlambat masa penyetoran dan dimanfaatkan untuk “diputar” terlebih dahulu,
5. Korupsi terhadap sistem pengawasan internal. Jenis ini bahkan mengakali suatu sisem pengawasan yang ditujukan untuk mencegah korupsi, yaitu dengan menyuap aparat pengawasan untuk tidak melaporkan apa yang mereka temukan.

Contoh di atas dapat kita temukan disekitar kita. F Rahardi, seorang wartawan, pernah mengidentifikasi setidak-tidaknya ada 7 pola korupsi yang sering ditemui di Indonesia. Tujuh pola ini dibangun dengan mengkombinasikan berbagai definisi korupsi diatas dan –seperti halnya Klitgaard–dibagi menjadi dua, yaitu pola korupsi internal dan eksternal, yaitu:

Pertama, Pola Korupsi Internal, yaitu korupsi yang dilakukan seseorang [suatu pihak] dalam lingkup lembaganya sendiri. Terdiri dari:
1. Pola Konvensional. Korupsi jenis ini merupakan bentuk yang paling konvensional, dan pada bentuk yang ekstrem dimaknai orang sebagai pencurian terhadap aset milik lembaga atau yang lebih lunak adalah penggunaan aset lembaga untuk keperluan pribadi. Bentuk yang umum dilakukan misalnya adalah penggunaan uang kantor untuk keperluan pribadi, dll.
2. Pola Kuitansi Fiktif/Dokumen Palsu. Korupsi jenis ini dilakukan dengan membuat dokumen palsu yang mendukung transaksi atau tindakan yang dilakukan. Contohnya adalah seperti pemalsuan kuitansi yang dilakukan oleh petugas bagian pembelian/mark-up.
3. Pola Menjegal Order adalah pola korupsi yang dilakukan dengan cara menelikung order yang didapat seseorang pada suatu persh, tetapi malah dikerjakan sendiri atau dilempar kepada pihak lain yang lebih menguntungkan dirinya. Misalnya yang sering dilakukan oleh para tenaga penjual, yaitu dengan mengerjakan sendiri sebuah order atau menyerahkannya keperusahaan lain untuk mendapatkan komisi yang lebih besar.
4. Pola Upeti. Korupsi jenis ini lazim dilakukan oleh seorang pegawai terhadap atasannya untuk memperoleh perlakuan istimewa yang tidak berdasarkan kondisi objektif. Contoh yang paling mudah ditemui misalnya pegawai suatu kantor yang memberi sejumlah uang kepada pegawai personalia untuk memudahkan urusannya [misal: kenaikan pangkat].

Kedua, Pola Korupsi Eksternal, yaitu korupsi yang dilakukan seseorang [suatu pihak] dalam
berhubungan dengan orang/pihak diluar lingkup lembaganya. Terdiri dari:
1. Pola Komisi, yaitu korupsi yang dilakukan dengan memungut sejumlah tertentu untuk memperlancar atau meringankan urusan yang harus dilakukan. Contohnya misalnya adalah seorang petugas pajak yang memungut komisi untuk menurunkan pajak yang harus dibayar seseorang.
2. Pola Perusahaan Rekanan adalah yang sering dilakukan oleh kepala kantor atau pimpinan proyek. Suatu pekerjaan yang harusnya ditawarkan kepada publik tetapi ditelikung dengan cara menyerahkannya kepada sebuah perusahaan yang diistimewakan karena mempunyai suatu hubungan khusus.
3. Pola penyalahgunaan wewenang atau jabatan biasanya lebih dikenal pungli, uang pelicin, suap, uang semir dan lain sebagainya. Tindakan korupsi ini dimaksudkan untuk dapat memperlancar urusan. Korupsi jenis ini mudah untuk ditemui dan hampir merata diseluruh Indonesia, karena itu cenderung menjengkelkan masyarakat.


BAGAIMANA KORUPSI ITU MERUSAK?

Korupsi sebagai tindakan yang penyalahgunaan kepercayaan publik merusak dalam wujud:

1. Inefiensi penggunaan sumber daya publik
Bentuk umum yang terjadi adalah pemborosan dan kemubaziran sumber daya publik. Sebagai contoh, jalan raya berkapasitas 5 ton tercatat di pengeluaran pemerintah menghabiskan biaya sejumlah pembuatan jalan dengan kapasitas 20 ton dengan daya tahan selama 2 tahun. Akibatnya, jalan berkapasitas 5 ton tersebut dilewati beban hingga 20 ton sehingga kurang dari 2 tahun jalan tersebut sudah rusak.

2. Inefiensi kebijakan untuk kepentingan publik
Inefisiensi terjadi manakala suatu kebijakan yang kurang menguntungkan masyarakat dan tidak/kurang tepat sasaran dipilih. Misalnya, suatu daerah memiliki penderita TBC sejumlah 10 % dari total penduduk dan 0 % penderita AIDS. Penduduk daerah tersebut mayoritas mata pencahariannya nelayan dan sangat minim fasilitas hiburan. Depkes mengalokasikan dana sejumlah Y rupiah untuk penanganan dan pengobatan TBC dan penyakit dan dana sejumlah 25 % Y untuk pencegahan dan penanggulangan AIDS; dengan kata lain alokasi untuk TBC dan AIDS 4 : 1. Dengan membandingkan antara prosentase penderita terhadap alokasi dana, sewajarnya timbul pertanyaan: proporsionalkah alokasi dana kesehatan tersebut?Jawabannya tidak karena, walaupun misalnya biaya pencegahan AIDS per orang ± 4 kali biaya pengobatan penderita TBC, dengan kondisi daerah seperti yang digambarkan diatas, sulit dikatakan bahwa potensi penularan AIDS adalah 10 % jumlah penduduk. Jika demikian, kenapa diputuskan alokasi dana seperti itu? Dengan menggunakan presume of guilt ada kemungkinan hal itu sengaja diadakan, baca: mengada-ada, karena “proyek”pencegahan AIDS adalah proyek basah.


APA YANG MENYEBABKAN KORUPSI?
 Kasus 1

Kemiskinan –kata orang– merupakan akar dari persoalan; tanpa kemiskinan tidak akan ada korupsi. Apabila kemiskinan merupakan penyebab korupsi, bagaimana menjelaskan mengapa mereka yang terlibat korupsi besar-besaran justru bukan orang miskin; banyak diantara mereka adalah orangorang yang mempunyai uang dan kekuasaan.

“Hukum Kesepadanan Korupsi”
Fenomena bahwa korupsi tidak berbanding lurus dengan kemiskinan dapat dijelaskan dengan “Hukum Kesepadanan Korupsi” yang dirumuskan oleh Revrisond Baswir. Hukum ini menyatakan korupsi berbanding lurus dengan kekayaan seseorang. Artinya, semakin kaya seseorang, semakin besar kekuasaan yang dimilikinya dan dengan demikian semakin besar jumlah yang potensial dikorup.

Kasus 2
Dua kasus korupsi besar yang terbuka luas kepada publik dalam Pelita ke-6 [1993-1998] adalah:
· Kasus korupsi Edi Tansil, yaitu korupsi yang melibatkan Sudomo, Ketua DPA, direksi Bapindo dan JB Sumarlin, mantan Menteri Keuangan yang saat itu menjabat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Melibatkan sejumlah uang yang mencapai Rp 1,3 trilyun
· Kasus korupsi Haryanto Dhanutirto, yaitu kasus korupsi Menteri Perhubungan yang jauh sebelum menjadi menteri sebenarnya sudah kaya

Dua kasus ini memperlihatkan bahwa Hukum Kesepadanan Korupsi berlaku di sini, dimana para pelakunya adalah orang-orang yang sudah kaya dan mempunyai kekuasaan. Siapa yang dapat dikategorikan miskin di sini?

Bagaimana pendapat anda mengenai fenomena Hukum Kesepadanan Korupsi ini?

Tetapi, penjelasan tersebut tidak dapat memungkiri fakta yang kita ketahui sehari-hari, bahwa orang miskin, para pegawai kecil, juga banyak terlibat pada kasus korupsi. Oke, kemiskinan mungkin penyebab, tetapi tetap bukanlah penyebab yang utama kerugian keuangan negara. Individu dan kelompok dengan tindak korupsi yang berdampak besar terhadap keuangan negara relatif sedikit jumlahnya, apalagi mereka melakukan korupsi tersebut tidak kelihatan menyolok bagi warga negara biasa. Semaunya dilakukan secara tertutup, terhormat dan berusaha untuk dilegalkan dengan peraturan yang dibuat.

Di Indonesia, dimana elitnya sangat korup, pemerintah tidak mampu untuk membayar pegawai negeri secara memadai. Penghasilan yang tidak sepadan ini dapat saja dianggap sebagai penyumbang sebab terjadinya korupsi pada tingkatan rendah, kalau tidak pada seluruh sistem.

Kasus 3
Korupsi yang sering terjadi pada pelayanan publik, seperti KTP dan SIM, seringkali dilakukan oleh para pegawai rendahan. Secara kasar dapat dilihat mereka yang menawarkan jasa untuk menguruskan KTP di kecamatan adalah para pegawai rendahan. Yang lebih mudah untuk diamati adalah pada pengurusan SIM, dimana para polisi yang menawarkan jasa untuk menguruskan dapat dilihat tanda pangkatnya. Tidak pernah seorang letnan menawarkan jasa untuk mengurus SIM. Semuanya pasti sersan ke bawah.

Berapa sebenarnya gaji resmi para pegawai rendahan tersebut, baik pada kecamatan atau kepolisian? Bagaimana pendapat anda mengenai korupsi pada tingkat bawah? Dengan demikian, korupsi sebenarnya adalah pedang bermata dua, yang dapat muncul ditengah-tengah kemewahan dan kekurangan.

Tetapi, apakah korupsi hanya masalah memiliki dan tidak memiliki, kaya – miskin. Tentu saja tidak. Sebab, sebagaimana rumusan C=M+D-A, akuntabilitas merupakan variabel dari tingkat korupsi.


SEBERAPA PARAHKAH KORUPSI DI INDONESIA?

Karena korupsi di Indonesia merupakan fenomena yang sangat umum, maka tentunya ada sesuatu yang salah dalam sistem pengawasan dan kontrol sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Kesalahan sistem ini terjadi sejak pada birokrasi pemerintahan, swasta, masyarakat umum maupun keluarga sebagai unit terkecil masyarakat Indonesia. Kita dapat meminjam klasifikasi luas paparan korupsi terhadap masyarakat berikut dari Robinson,
1. Insidental/individual. Korupsi insidental/individual ini dilakukan oleh pelakunya secara individual pada suatu lingkungan/lembaga tertentu, yang sebenarnya lembaga tersebut termasuk “bersih” dalam hal korupsi. Korupsi semacam ini hanya dikenal pada negara-negara yang korupsinya sangat rendah, misalnya: Selandia Baru, Denmark dan Swedia, yang menurut Corruption Index Transparency International menempati peringkat 1, 2 dan 3 negara terbersih.
2. Institusional/kelembagaan. Korupsi disebut institusional apabila melanda suatu lembaga atau suatu sektor kegatan tertentu, di mana keseluruhan sektor atau lembaga secara makro tidak korup.
3. Sistemik [societal]. Pada kasus semacam ini korupsi sudah menyerang seluruh masyarakat dan sistem kemasyarakatan. Karena itu dalam segala proses kemayarakatan, korupsi menjadi rutin dan diterima sebagai alat untuk melakukan transaksi sehari-hari. Hal semacam ini disebut sebagai korupsi sistemik, karena sudah mempengaruhi secara kelembagaan dan mempengaruhi perilaku individu pada semua tingkat sistem politik dan sosio ekonomi. Korupsi jenis ini mempunyai beberapa ciri, yaitu:
a. Inklusif dengan lingkungan sosial budayanya. Inklusif dalam arti sudah diterima sebagai kenyataan dalam konteks sosial budaya masyarakat.
b. Cenderung menjadi monopolistik. Hal ini berarti korupsi sudah menguasai semua system kemasyarakatan dalam masyarakat, sehingga masyarakat sulit untuk mendapatkan system kemasyarakatan yang wajar, tanpa korupsi.
c. Terorganisasi dan sulit untuk dihindari. Karena sudah menjadi proses rutin dalam kehidupan sosio ekonomi, maka korupsi menjadi terorganisasi, sadar maupun tak sadar, sehingga secara otomatis semua proses sistem kemasyarakatan akan terkena.

Korupsi semacam ini tumbuh subur pada sistem kemasyarakatan yang mempunyai beberapa ciri, yaitu: kompetisi politik yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, civil society yang lemah, serta tiadanya mekanisme kelembagaan untuk berurusan dengan korupsi. Sebaliknya, sistem kemasyarakatan yang relatif bebas dari korupsi mempunyai beberapa ciri seperti: menghormati kebebasan sipil, pemerintah yang amanah [accountable], banyaknya kesempatan untuk berusaha secara ekonomis dan kompetisi politik yang terstruktur. Melihat keadaan di Indonesia, semua orang tentu akan sepakat bahwa korupsi di Indonesia sudah mencapai tahap sistemik [societal], karena semua ciri yang melekat pada korupsi semacam ini sudah terpenuhi.

Kasus 4
Anda pasti tahu bahwa korupsi di Indonesia sudah mencapai tahap sistemik, menginvasi seluruh sektor pemerintah, swasta, bahkan mencapai tingkat keluarga.

Nah, misalkan orang tua anda adalah pegawai negeri. Anda pasti mengetahui berapa gaji pegawai negeri, sedangkan anda sekeluarga hidup secara berkecukap [tentu ukuran kecukupan itu relatif]. Bersediakan anda menanyakan dari mana orang tua anda mendapatkan keseluruhan penghasilan untuk menghidupi keluarga secara layak? Darimana saja sumbernya?


KONTROL MASYARAKAT

Jika hanya menyalahkan pihak pemerintah dan birokrasi sebagai penyebab korupsi, rasanya tidak adil jika kita melihat kenyataan bahwa maraknya pembukaan kasus korupsi, demonstrasi penurunan kepala desa, tumbuhnya lembaga independen anti korupsi baru marak setelah turunnya Soeharto. Dengan demikian sebenarnya faktor masyarakat ikut berperan dalam kasus korupsi, dalam arti masyarakat selama ini relatif toleran dengan banyaknya kasus korupsi. Artinya, jika saja masyarakat sejak dahulu konsisten dengan semangat anti korupsi yang baru ada dalam satu tahun belakangan ini, tentunya peluang terjadinya kasus korupsi besar-besar akan mengecil.

Kasus 5
Adalah sebuah desa di lereng Merapi yang benar-benar menggunakan moment turunnya Suharto, yaitu Wukirsari. Korupsi di kedua desa tersebut dilakukan oleh para pamong praja dan telah berlangsung bertahun-tahun dengan tanpa ada kontrol. Hanya saja keberanian dan kesungguhan untuk melawan korupsi, baru bisa muncul setelah ruang publik menjadi meluas dengan turunnya Suharto. Tentu saja hal ini berlangsung karena adanya sebuah organisasi massa yang kongkret yang dimotori oleh kesadaran (bisa jadi kemarahan) bahwa mereka telah sekian lama menjadi korban. Hal ini ditandai dengan langkah investigasi yang rencana dilakukan selama seminggu, dengan menanyai penduduk yang pernah menjadi korban dan kerugiannya.

Ternyata respon masyarakat sangat besar, hingga seminggu berlalu, laporan yang masuk ke APMD –demikian nama gerakan massa di Desa Wukirsari- justru semakin banyak. Dengan gambaran ini, mungkin kita layak untuk menanyakan mengapa masyarakat sama sekali tidak tergerak meski selama bertahun-tahun menjadi korban dan tiba-tiba saja semua itu tertumpah menjadi sebuah gerakan rakyat pada moment tertentu.

Di sisi atas, memang reformasi administratif yang membongkar persoalan struktural pemerintahan terpusat perlu dilakukan. Tetapi karena persoalan korupsi yang dialami Indonesia sudah mencapai tahap sistemik dan memasyarakat bahkan diterima sebagai suatu kenyataan dalam konteks sosial budaya masyarakat, serta terorganisir dengan baik dan sulit dihindari, maka upaya memperkuat posisi dan peran rakyat dalam memberi arah perjalanan dan mengawasi pemerintah perlu dilakukan.

Untuk mendukung hal tersebut perlu dilakukan penguatan masyarakat sipil sebagai pondasi untuk memerangi korupsi. Diantaranya adalah dengan memberdayakan dan dengan mendidik masyarakat agar mampu melawan dan bangkit melawan korupsi yang sistemik ini. Pemberdayaan tersebut merupakan usaha untuk memperluas akses dan melindungi berbagai sumber daya ekonomi dan politik rakyat. Selain itu juga memperkuat organisasi kemasyarakatan dan organisasi yang berasal dari masyarakat lainnya [mahasiswa, NGO, ormas, buruh, dll] yang artikulatif dan visioner sehingga mampu berperan sebagai pengimbang kekuatan negara dan juga perlunya media massa yang artikulatif dan independen.


Dengan begini, lemahnya kontrol masyarakat sebagai salah satu penyebab korupsi dapat dieliminir.


Tulisan ini merupakan hasil modifikasi dari tulisan berjudul 5W + 1 H Korupsi yang dibuat oleh Agam Fatchurrochman, mantan kordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW).

PNS, Dilema dan Harapan

Animo masyarakat yang berdomisili di luar Provinsi Lampung untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Lampung sangat besar. Secara keseluruhan jumlah pelamar yang mengirimkan berkas lamarannya melalui PT Pos tahun ini naik dibandingkan tahun 2008. Pada 2008, jumlah pelamar mencapai 79 ribu, tahun ini meningkat 17 ribu menjadi 96 ribu pelamar. "Jumlah ini melonjak karena ada tiga daerah otonom baru yang menerima calon pegawai melalui seleksi CPNSD. Bukan dari Provinsi Lampung, lebih dari seribu pelamar CPNSD di kabupaten/kota berasal dari luar Provinsi Lampung. Karena itu persaingan seleksi calon pegawai negeri sipil daerah (CPNSD) tahun 2009 semakin ketat (Lampost, [10-10]).
Selama ini saya lebih sering ketemu dengan orang-orang yang sangat berminat untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dengan alasan jaminan hari tua, mereka beralasan seolah-olah masa depan sudah "aman dan nyaman" dengan menjadi PNS. Jarang sekali bahkan hampir tidak pernah saya jumpai orang yang sama sekali tidak berminat menjadi PNS.
Di sebuah artikel, Y.B. Mangunwijaya menulis tentang sistem kependidikan kita dan kenapa orang begitu berminat menjadi PNS (birokrat). Rupanya, kita ini masih mewarisi mental inlander dari zaman kolonial dulu, di mana orang dididik untuk menjadi patuh dan taat pada pemerintah sehingga bisa menjadi ambtenaar (PNS di zaman kolonial). Menjadi ambtenaar itu jabatan terhormat di masyarakat waktu itu, dan rupanya masih terbawa hingga sekarang. Yang juga masih terbawa adalah paradigma bahwa mereka adalah bagian dari kekuasaan (penguasa), bukan pelayan rakyat atau pembayar pajak.
Kinerja PNS
Sebetulnya kritik inefisiensi terhadap PNS itu tidak bisa dibuat sama rata karena ada beberapa sektor yang sebetulnya masih sangat butuh tenaga, misalnya guru, dokter, dll. Inefisiensi justru lebih kepada PNS yang menjalankan roda birokrasi, seperti yang ada di kelurahan, kecamatan, dinas-dinas, dll.
Sesuai dengan tujuannya, pengangkatan besar-besaran ini diperlukan guna meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat. Di Indonesia, jumlah PNS hingga akhir Juni 2009 mencapai 4,38 juta orang. Terdapat ketidakseimbangan antara tenaga pelayan dan mereka yang melayani. Dikabarkan, agar masyarakat dapat dilayani perlu disediakan jutaan PNS baru. Di Indonesia, satu PNS melayani tujuh orang. Sementara di negara lain di ASEAN, satu pegawai pemerintah melayani 2--4 orang.
Memperbaiki kultur pelayan PNS saja merupakan pekerjaan rumah yang tidak gampang. Pakar kebijakan publik Imam Prasojo (2009) menyatakan rusaknya kultur pelayanan PNS disebabkan, pertama, Indonesia mempunyai budaya panjang dijajah kolonial sehingga mental itu terbawa sampai sekarang.
Kedua, hegemoni dan kooptasi birokrasi menyebabkan birokrasi sebagai mesin politik yang tidak netral, kurang profesional dan tidak memiliki mental mengabdi. Ketiga, pola pendidikan pamong praja yang lekat dengan kemiliteran tidak berhasil mendidik kepemimpinan sipil yang andal dan mengayomi rakyat.
Sampai sekarang, pelayanan publik masih mengadopsi model-model penjajahan di mana pegawai negeri harus dilayani rakyat bukan melayani masyarakat. Ke depan, pandangan ini perlu diubah agar menghasilkan pelayan-pelayan prima yang benar-benar mengabdi bukan pada kekuasaan tetapi rakyat. Seleksi yang tidak bebas KKN hanya akan melestarikan kultur feodal yang telah lama melekat dalam diri aparat negara ini.
Motivasi menjadi PNS yang semata-mata hanya mengejar karier dan jaminan pekerjaan sering kali merusak kultur dan citra PNS. Maklum, ketika pekerjaan yang dikejar maka menghalalkan segala cara pun dilakukan. Dengan begitu angan-angan menjadikan PNS sebagai masyarakat pelayan sering ternodai sejak seleksi yang kurang menjunjung tinggi etika dan transparansi.
Di tengah sulitnya menembus lapangan kerja belakangan ini, status sebagai PNS menjadi idola dalam masyarakat. Banyak mertua mencari menantu yang berstatus PNS. Menjadi PNS identik dengan jaminan masa depan yang cerah termasuk menerima pensiun. Bagi sebagian besar masyarakat, status itu dianggap bergengsi. Dan untuk ukuran Indonesia yang masih miskin, menjadi PNS adalah idaman semua orang.
Sayangnya, setiap kali musim penerimaan CPNS selalu muncul dugaan adanya kongkalikong antara peserta seleksi dan orang-orang dalam dari instansi pemerintah yang bisa memberikan jalan masuk menjadi CPNS. Meski sering kali sulit dibuktikan hitam di atas putih tetapi aroma KKN itu demikian menyengat. Santer terdengar kabar mereka yang hendak menjadi CPNS harus menyediakan dana puluhan juta rupiah agar dapat lolos.
Yang menarik, masyarakat cenderung percaya rekrutmen CPNS tidak mungkin tanpa suap. Maka, segala upaya ditempuh masyarakat agar dapat lolos menjadi CPNS meski dengan menyediakan banyak uang. Baginya, asal ada kepastian tidak peduli yang penting dapat lolos. Masyarakat sudah telanjur tidak percaya bahwa seleksi CPNS benar-benar bisa transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Padahal dengan seleksi mengandalkan uang dalam jumlah besar berpotensi mematikan pegawai yang bersangkutan kelak.
Karena kursi kepegawaian mereka telah dibeli, sulit diharapkan adanya pelayanan prima dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang ada adalah upaya mengembalikan modal yang telah ditanam termasuk dengan korupsi. Sejatinya, reformasi birokrasi harus dimulai dengan proses rekrutmen CPNS. Para penyelenggara ujian CPNS harus mewaspadai modus-modus kecurangan selama proses rekrutmen antara lain perjokian dan pembocoran materi soal ujian. Sebab itu, panitia rekrutmen perlu menyediakan kotak pengaduan yang memadai. Kotak ini disediakan di tempat terbuka dan bisa diakses semua orang. Kotak pengaduan bermanfaat untuk menekan adanya kecurangan selama proses rekrutmen.
Rawan KKN
Kecurangan dalam seleksi CPNS menjadi celah dalam PP No. 98/2000 tentang Pengadaan PNS. Dalam PP itu, seleksi tertulis yang hanya sekali untuk menjaring sedikit dari banyak calon diragukan benar-benar objektif dan membuka peluang terjadi kolusi. Demikian juga pelaksanaan seleksi yang dilaksanakan oleh PNS lapangan bukan dari pusat, rawan terjadi ajang titipan, mempergunakan mekanisme koneksi, dan suap.
Pada tahapan penilaian hasil ujian dan penentuan kelulusan juga rawan dimanipulasi dan dicurangi. Panitia seleksi jelas memiliki otoritas tinggi. Maka, mereka harus sadar jangan sampai tergoda untuk melakukan KKN agar tak terlibat dalam transaksi jual-beli hasil ujian. Pada kasus KKN terkait penerimaan CPNS, calon PNS yang mampu membayar mahal tentu saja akan diluluskan meski nilai ujiannya sangat jeblok.
Karena itu, sulit mengharapkan seleksi yang tidak menjunjung tinggi etika dan transparansi dapat memperbaiki kualitas transparansi. Reformasi birokrasi tidak akan berjalan di tengah praktik jual beli kursi dan jabatan. Reformasi birokrasi hanya mungkin dijalankan oleh pribadi-pribadi yang memiliki semangat pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat.
Persoalannya sekarang, adakah semangat dari para aparatur birokrasi untuk selalu tampil menempatkan dirinya secara prima, sebagai pelayanan publik yang bersahaja dalam melaksanakan tugas pekerjaannya yang akuntabel, serta menjaga netralitas dan profesional dalam melaksanakan pengabdiannya?
Masyarakat berharap pada penerimaan CPNS tahun ini khususnya di Provinsi Lampung benar-benar transparan sehingga nilai kejujuran tidak musnah di Sang Bumi Ruwa Jurai.
Agus Djumadi
Peminat masalah sosial, tinggal di Bandar Lampung
 Lampung Post edisi 1 Desember 2009