Perkuat Peran KPK hingga ke Daerah


 SEBANYAK 35 persen proyek pengadaan barang dan jasa dalam APBN 2010 berpotensi dikorupsi. Nilainya mencapai Rp114 triliun. Jumlah yang fantastis dan teramat besar bagi negara miskin seperti Indonesia.Hal itu diutarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam forum resmi di Jakarta, Rabu (2-12)--Lampung Post, Kamis (3-12). Itu baru potensi korupsi untuk satu tahun APBN. Bagaimana dengan proyek APBN sebelumnya? Proyek yang dibiayai APBD provinsi dan kabupaten/kota juga pasti idem dito dengan proyek APBN.
 Kita bisa bayangkan jika uang Rp114 triliun itu tidak bocor ke mana-mana. Pasti negara tak perlu ragu merealisaikan Jembatan Selat Sunda. Berjuta-juta rakyat miskin terselamatkan, petani di desa terbantu, serta jutaan sekolah dan puskesmas bisa dibangun setiap tahun.
Rakyat pun tidak lagi setiap waktu mengeluhkan jalan rusak, irigasi, dan byarpet listrik. Jika semua proyek berjalan normal, jutaan pekerja kita bisa terserap sehingga TKI tidak terus-menerus diperbudak negara asing.
Korupsi dalam proyek pemerintah sangat mudah dibuktikan. Amati saja kualitas jalan di sekitar kita. Hujan sebentar saja, air tergenang di mana-mana. Alhasil, aspal mudah terkelupas dan jalan cepat berlubang. Kondisi serupa terjadi pada proyek pembangunan gedung.
Selama ini, pengelola proyek memakai logika bisnis. Bagaimana mendapat fulus besar dengan cara cepat. Untuk itu, semua pihak yang terkait dengan proyek "dibereskan". Mutu tak lagi penting. Asalkan proyek berjalan, dan pemberi proyek menerima hasilnya, tidak ada masalah. Kritik dan keluhan publik dianggap seperti angin lalu. Logika tidak waras itu terus dipakai untuk menjaga rutinitas perolehan proyek baru.
KPK mencatat, maraknya kasus korupsi pengadaan barang dan jasa karena sistem yang tertutup dan tidak akuntabel. Seperti proyek tidak melalui tender, tetapi lewat penunjukan langsung dengan menyiasati aturan.
 Modus lain "mengakali" proyek adalah melalui mark up nilai proyek. Pola ini akhirnya menimbulkan kasus-kasus suap. Bahkan, ada yang lebih nekat dengan membuat proyek fiktif.
Apa pun modusnya, korupsi proyek sangat mudah jika dilakukan dengan berjemaah. Jika bermain sendiri, tidak akan mendapat apa-apa. Alih-alih mendapat fulus, bisa-bisa dijebak dan terjerat hukum. Agar aman dan untung harus berkolusi dengan pejabat negara. Celakanya, jasa wakil rakyat (legislatif) pun diperlukan untuk mengamankan proyek. Bahkan, tak terbilang anggota Dewan terhormat yang bermain proyek.
Praktek-praktek  seperti itu sudah berlangsung sejak pembangunan nasional dimulai tahun 1970-an. Di awal 1980-an, para ekonom kita seperti Emil Salim dan Soemitro Djojohadikusumo juga pernah mengemukakan minimal 30 persen kebocoran anggaran pendapatan dan belanja negara bersumber dari kegiatan pengadaan barang dan jasa.
Belajar dari pengalaman selama ini, pembenahan sistem pengadaan barang dan jasa mutlak diperlukan. Awasi ketat perjalanan proyek di setiap lini untuk mencegah peluang korupsi. Sebab, pencegahan adalah bagian terpenting dalam upaya pemberantasan korupsi.
Tapi, pengawasan saja tidak cukup karena selama ini oknum-oknum di lembaga pengawas pun ikut berkolusi. Agar pengawasan lebih efektif, maka belum ada jalan lain kecuali memberi lebih besar kepada KPK dan memperluas jangkauannya hingga ke daerah.
Jika selama ini KPK lebih fokus pada koruptor kakap di level nasional, sudah saatnya korupsi di level daerah juga dibidik. Sebab, jumlah uang negara yang dikorup lewat proyek APBD provinsi dan kabupaten/kota juga besar.

sumber: Lampung Post 4 Desember 2009

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih koment disini