Strategi Islam Mencegah Korupsi


Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi memiliki banyak wajah. Dalam sektor produksi, korupsi ada dari hulu sampai hilir, dari anak-anak sekolah sampai presiden, dari konglomerat sampai pegawai. Oleh sebab itu, upaya menundukkan korupsi juga memerlukan suatu strategi yang terpadu. Artinya, pemberantasan korupsi harus melibatkan semua pilar masyarakat. Pilar masyarakat adalah manusia (individu), budaya (yaitu berupa persepsi baik pemikiran maupun perasaan kolektif), dan sistem aturan yang berlaku. Sebab itu, korupsi akan lebih efektif diberantas bila pada tiga pilar tersebut dilakukan langkah-langkah yang terpadu.
Untuk menghilangkan budaya korupsi harus ditanamkan budaya antikorupsi sejak dini yang akan menghasilkan individu-individu antikorupsi, yang kemudian akan menjadi aktor-aktor pencegahan atau pemberantasan korupsi. Dalam level mikro, seperti pada suatu sekolah, kantor atau suatu organisasi, budaya ini bisa ditumbuhkan lewat pendidikan (training-training), keteladanan pimpinan, dan lewat kampanye yang masif.
Islam memberikan syariah-syariah agar masyarakat dapat hidup dengan aman dan sesuai fitrahnya (manusiawi). Sesuai pilar-pilar masyarakat, maka dapat digali sejumlah hukum-hukum syariah yang ditujukan untuk diterapkan di level individu, untuk membentuk persepsi di masyarakat, dan untuk mengatur hubungan antaranggota masyarakat.
Untuk membangun individu, Islam mewajibkan bagi pemeluknya untuk salat, membayar zakat, dan puasa Ramadan; juga mensyariatkan setiap muslim untuk berakhlak mulia, bekerja keras, berpikir cerdas, dan berhati ikhlas.
Untuk membangun budaya syar'i (yaitu berupa persepsi baik pemikiran maupun perasaan kolektif), Islam mewajibkan dakwah, saling menasihati dan amar makruf nahi munkar. Kritik konstruktif ke orang yang lebih berkuasa dianggap sebagai jihad utama, dan orang yang dibunuh akibat bicara yang benar, didudukkan sejajar dengan penghulu para syuhada, yaitu Hamzah bin Abdul Mutholib.
Sementara itu, para figur publik disemangati untuk menyayangi rakyat kecil dengan syariat zakat, sedekah dan silaturahmi. Pesta terbaik adalah yang mengundang fakir miskin. Para penguasa diperintahkan menjadi teladan bagi rakyatnya, dengan menerapkan hukum terlebih dulu kepada keluarganya. Penguasa adil disebutkan di tempat pertama dari tujuh kelompok yang nanti yang akan dinaungi pada hari kiamat.
Pendidikan dan media juga diarahkan untuk membentuk manusia-manusia yang seimbang, bukan manusia-manusia materialistis, apalagi yang ingin mendapatkannya secara instan.
Sedangkan organisasi nonpemerintah, ormas atau bahkan parpol digunakan untuk membentuk persepsi publik yang benar, untuk membangun budaya bermasyarakat yang sehat yang dengan itu melahirkan kader-kader politisi yang juga sehat, sehingga mampu mendesak agar pemerintah melaksanakan agenda yang sehat, termasuk agenda memberantas korupsi.
Budaya antikorupsi bukanlah budaya tersendiri, tapi merupakan bagian dari jejaring budaya-budaya positif yang harus dibangun. Inti budaya ini adalah membangun rasa malu untuk korupsi, kecil atau besar, diam-diam atau terang-terangan.
Walaupun demikian, di masyarakat tetap akan ada orang yang tidak punya malu, tidak takut kepada aparat hukum, dan tidak sungkan kepada Tuhan. Atau ada juga orang-orang yang kepepet karena kondisi ekonominya yang menyebabkan malunya dikalahkan. Untuk menolong orang-orang seperti inilah diperlukan sistem, diperlukan campur tangan negara.
Dan syariah telah memberi paket sistem penyelenggaraan negara agar bebas korupsi. Dimulai dari pelurusan aturan-aturan yang konyol, yang selama ini perlu "disiasati" (manipulasi, korupsi) agar masih dapat dijalankan. Penyederhanaan birokrasi adalah step berikutnya. Islam menghendaki agar kebutuhan rakyat bisa diurus secepat dan semudah mungkin. Dan terakhir para birokratnya sendiri harus dipilih dari orang-orang yang profesional (kafah), beretos kerja yang benar (amanah) dan takut kepada Allah. Mereka juga kemudian dicukupi semua kebutuhannya oleh negara, agar kemudian mampu menolak gratifikasi dari siapa pun.
Meskipun demikian, Islam masih mewajibkan agar negara menghitung kekayaan penyelenggara negara ini sebelum dan sesudah menjabat, agar pejabat yang menyimpang terdeteksi lebih awal. Laporan pertanggungjawaban pejabat juga dapat diuji-silang dengan informasi independen, misalnya data statistik, info bisnis, peta, dan citra satelit serta keluhan masyarakat. Pejabat yang korupsi akan diberi pidana ta'zir yang sangat keras, yang akan mencegah orang melanggar, membuat jera pelaku dan sekaligus menjadi penebus dosanya.
Untuk membangun sistem yang baik ini perlu dukungan para "orang kuat", yakni para pemimpin politik atau militer yang kredibilitasnya diakui, ucapannya diikuti, perbuatannya diteladani.
Dukungan ini harus semata-mata karena sistem itu diyakini kebaikannya, setelah mereka mengkaji secara mendalam, lalu memahami bahwa sistem itu dibangun dari Quran dan Sunnah yang mereka imani selama ini. Untuk mengajak agar para orang kuat itu mencapai "iman yang produktif" serta menghubungkan iman dengan perubahan sosial inilah diperlukan kerja keras para pendamba perubahan dalam rangka memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Wallahu Alam.
Sumber : Lampungpost
Akhiril Fajri
Humas DPD I Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Lampung

Renungan Untuk Calon Pemimpin

ALKISAH, 1.400 tahun lalu. Tersebutlah putra mahkota Yaman tiba di Madinah dengan pakaiaN mewahnya. Lalu dilihatnya sang khalifah Abu Bakar hanya mengenakan dua lembar kain warna cokelat, yang selembar menutupi pinggang dan selembar lainnya menutupi sisa badannya. Putra mahkota itu menangis dan langsung melempar pakaian mewahnya sembari berkata, “Dalam Islam, saya tidak menikmati kepalsuan ini.”


Pada suatu malam, ketika maut menjemput, Abu Bakar bertanya pada putrinya Aisyah, berapa jumlah kain kafan Nabi. Aisyah menjawab, “Tiga.” Abu Bakar langsung menyuruhnya untuk lekas mencuci dua kain yang tengah ia pakai, dan disuruhnya Aisyah membeli sisa satu kain. Tetes air mata Aisyah tak terbendung lagi. Pasalnya, sebenarnya sang ayah tak semiskin itu. Tapi Abu Bakar malah berkata, kain yang baru lebih berguna untuk orang yang hidup ketimbang untuk orang yang telah meninggal.

Adalah Umar Bin Abdul Aziz yang menolak kendaraan dinas kerajaan yang serba wah pada zamannya ketika ia dinobatkan sebagai presiden. Ia berkata, “Aku tak memerlukannya. Jauhkanlah kendaraan itu dariku. Bawalah keledaiku ke sini. Itulah kendaraan yang cocok untukku”.

Akhirnya, tahukah Anda, Umar Bin Abdul Aziz sang penguasa negara adidaya kala itu ternyata tak punya cukup dana untuk menunaikan ibadah haji, sampai suatu ketika asistennya mengatakan bahwa jumlah uang hasil gajinya sebagai presiden telah cukup untuk biaya perjalanan haji. Namun Umar menjawabnya, “Telah lama kami pergunakan uang ini, sekarang umat Islam berhak menikmatinya.” Lalu ia memasukkan hasil pendapatannya ke kas negara.

Duh, betapa indahnya negara ini jika saja para pemimpin dan jajaran elite-nya bisa seperti mereka. Kalau bermewah-mewah mereka ogah, apalagi menjadi pelaku tindak korupsi. Kalau senantiasa takut pada hisab di akhirat, mana mungkin mereka menghambur-hamburkan uang rakyat dengan berbagai bungkus; studi banding ke luar negeri, dana mobilitas, atau tunjangan fungsional khusus.

Ini semestinya menjadi renungan bagi para pemimpin atau calon pemimpin, baik pemimpin struktural pemerintahan (mulai dari lurah hingga presiden) ataupun pemimpin opini dan aspirasi masyarakat (anggota Dewan). Memang, generasi sahabat adalah generasi terbaik dan umat sesudahnya tak akan bisa lebih baik. Tetapi, cukup realistis kalau kita sekarang mencoba meneladani perilaku mereka, meski harus tertatih, meski hanya beberapa persen saja dari apa yang pernah mereka suguhkan pada sejarah.

Wahai para (calon) pemimpin di negeri ini, dengarlah apa yang diucapkan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra ketika dilantik menjadi khalifah:

“Wahai ummat manusia, aku telah diangkat menjadi khalifah, padahal aku tidaklah lebih baik dari tuan-tuan. Kalau aku berbuat baik maka bantulah aku, dan kalau aku menyeleweng luruskanlah jalanku! Kebenaran adalah amanah, dan kedustaan adalah khianat. Orang yang tertindas di antara kamu adalah kuat dalam pandanganku, sehingga akan kuserahkan kepadanya haknya. Dan orang perkasa di antara kamu, adalah kuanggap lemah, sehingga aku akan mengambil hak daripadanya insya Allah. Janganlah tuan-tuan meninggalkan jihad, sebab Allah menimpakan kehinaan kepada kaum yang tidak berjihad. Taatilah aku selama aku tetap menaati Allah dan Rasul-Nya. Kapan aku telah mendurhakai Allah, aku tak usah kamu taati lagi. Tunaikanlah shalat semoga Allah akan memberikan rahmat kepadamu!”.

Sebuah pidato yang menyentuh, apalagi terbukti ucapan itu bukan sekadar retorika pemanis bibir. Sebagai kepala negara, Abu Bakar sebetulnya berhak untuk mendapatkan nafkah atas keluarganya daro Baitul Mal. Namun selama enam bulan hak itu tak diambilnya. Sehingga, beliau menggunakan separuh harinya untuk berdagang. Setelah enam bulan terasa bahwa waktunya tak cukup untuk mengurus pemerintahan (karena digunakan juga untuk berdagang), maka Abu Bakar pun mau menerima uang 600 dirham setahun dari Baitul Mal. Sekadar cukup untuk ongkos hidup diri dan keluarganya.

Begitulah As-Shidiq, meski diberi hak nafkah, toh tetap tak bisa nyaman menggunakannya. Bahkan beliau berpesan kepada keluarganya agar jumlah gaji yang telah diterima itu dibayar kembali dengan sisa kekayaannya sebagai hutang, setelah beliau wafat nantinya.

Menjelang wafat, Abu Bakar berpesan kepada putrinya, Aisyah ra:

“Sesungguhnya kami semenjak diangkat menjadi khalifah, tidak pernah kami ambil barang sedinar atau sedirham pun harta kaum muslimin, tetapi kami telah memakai kain kasar mereka dan telah memakan makanan tumbuk kasar mereka. Kini tak ada lagi sisa harta padaku, kecuali seorang budak ini, seekor unta ini, dan sebatang sayur qatifah ini. Kalau nanti aku telah meninggal, wahai Aisyah, kirimkan semua ini pada Umar sebagai pembayar hutangku.”

Pemimpin harus menyadari tanggung jawabnya yang besar. Sungguh aneh di zaman ini, orang justru berlomba mengejar beban kepemimpinan itu. Inilah persoalannya; posisi pemimpin lebih dimaknai sebagai berkah ketimbang sebagai amanah. Maka begitu seseorang terpilih menjadi pemimpin (khusunya di wilayah yang ‘basah’), dia langsung ‘sujud syukur’ yang dilanjutkan dengan pesta pora menyambut keberhasilannya memperoleh posisi baru yang ‘empuk’.

Entahlah, mungkin mereka lupa bahwa setiap tanggung jawab akan ditanyakan oleh Allah di akhirat kelak, sesuai dengan tingkat kepemimpinannya. Rasulullah bersabda”

“Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu akan ditanya dari hal yang kamu pimpin. Suami akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Istri memelihara rumah tangga suaminya dan akan ditanya hal yang dipimpinnya. Pelayan memelihara milik majikannya dan akan ditanya dari hal yang dimintanya.” (HR Bukhari, Muslim).


Islam menempatkan kepemimpinan sebagai amanah, yang akan diberikan hanya kepada orang yang mampu menunaikannya. Rasulullah pernah berpesan kepada Abu Dzar ketika dia meminta jabatan.

“Hai Abu Dzar, kamu seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai amanah yang pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali orang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya dan memenuhi tanggung jawabnya.” (HR Muslim).


Karena sedemikian berat tanggung jawab seorang pemimpin, beberapa persyaratan harus dipenuhinya, seperti taqwa kepada Allah, kepahaman kepada syariat Allah, bisa bersikap adil, kemampuan dan kecakapan serta kondisi fisik dan mental yang memungkinkan.

Berat memang menjadi pemimpin, tapi Allah Maha Adil, karena ada balasan setimpal bagi pemimpin yang amanah. Di dunia, menjadi hak pemimpin untuk ditaati. Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu….” (QS. An Nisaa:59).


Di akherat, Allah telah menjanjikan pahala yang besar. Seperti disampaikan Rasulullah:

“Ada tujuh golongan yang bakal bernaung di bawah naungan Allah, pada hari tiada naungan kecuali naungan Allah: Imam (pemimpin) yang adil…..” (HR. Bukhari, Muslim).

“Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, kelak di sisi Allah akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya, ialah mereka yang adil dalam hokum terhadap keluarga dan apa saja yang diserahkan (dikuasakan) kepada mereka.” (HR.Muslim)

“Orang-orang ahli surga ada tiga macam: pemimpin yang adil, mendapat taufiq hidayah (dari Allah), dan orang yang berbelas kasih, lunak hati kepada sanak kerabat dan orang muslim, dan orang miskin berkeluarga yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri.” (HR.Muslim).


Akhirnya kita hanya bisa berharap, semoga para pemimpin atau mereka yang mengangankan menjadi pemimpin sadar akan beban yang sedang atau akan disandangnya. Sehingga, mereka mampu melihat dan merasakan posisi kepemimpi+nan sebagai amanah bukan sebagai berkah!

MEMILIH PEMIMPIN

Negeri ini sebetulnya memiliki banyak calon pemimpin, namun untuk mencari profil pemimpin yang adil saat ini jauh dari harapan. Tetapi kita tidak boleh putus asa. Kita wajib berusaha semaksimal mungkin. Untuk memilih siapa pemimpin kita. Banyak pendapat dikalangan masyarakat  bahwa seorang pemimpin harus begini, harus begitu. Sebagai seorang muslim marilah kita coba tengok sejarah mengenai para pemimpin negeri ini, dan para pemimpin dunia yang terdahulu. Dan Islam telah mengajarkan pada kita sejak 14 abad yang lalu, bagaimana sebaiknya memilih seorang pemimpin.

Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin umat

Sejarah telah menunjukkan kepada kita, munculnya pemimpin-pemimpin dunia yang telah berhasil memimpin rakyatnya. Dan kita telah ditunjukkan bagaimana kepemimpinan Rasulullah saw. dalam memimpin umat Islam. Umat Islam juga pernah dipimpin para khalifah, sejak jaman Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan sebagainya. Diantara para pemimpin itu Nabi Muhammad-lah yang pantas kita jadikan contoh seorang pemimpin. Bagaimana tidak? Hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 25 tahun beliau mampu mengubah jaman kegelapan menjadi terang. Dalam waktu singkat itu beliau mampu mendidik generasi yang akhirnya menelan dua “Super Power” saat itu, yaitu Imperium Romawi dan Kekaisaran Persia.

Apa yang menjadi kesuksesan Nabi Muhammad saw. memimpin saat itu? Jawabannya adalah keteladanan. Pada diri Rasulullah itu ada satu keteladanan yang baik.

لقد كان لكم في رسول الله اسوة حسنة لمن كان يرجوا الله واليوم الاخر وذكر الله كثير(Q.S 33:21).

Perkataan beliau merupakan wahyu Allah

اِنْ هُوَ اِلاَّ وَحْيٌ يُّوْحى ( Q.S. 53:4).

Selain itu juga sikap beliau yang demokratis. Beliau memerhatikan dan merealisasikan saran-saran dari para sahabat, seperti pada saat menjelang perang Khandaq, beliau perhatikan saran sahabat untuk membuat parit di Kota Madinah. Beliau juga mendengarkan saran sahabat melakukan adzan sebagai panggilan sholat.

Tapi di sisi lain, Rasulullah juga bersikap tegas. Apa yang telah menjadi keputusannya dan diyakini kebenarannya, beliau tak goyah walau dikritik para sahabatnya. Seperti pada saat perjanjian Hudaibiyah. Hal itu menunjukkan karakter seorang pemimpin yang dimiliki Rasulullah, dan kemudian diikuti oleh para sahabatnya, seperti Abu Bakar ash-Shidiq, dengan sikap tegasnya, walau kualitas kepemimpinannya berbeda dengan Rasulullah saw.

Semua pemimpin Islam yang sukses mempunyai karakteristik yang sesuai karakteristik kepemimpinan Rasulullah, meskipun mungkin tidak sama persis 100%. Setiap spesifik karakter kepemimpinan pada diri seperti Khulafaur Rasyidin, Umar bin Abdul Aziz, ataupun Harun al Rasyid, sudah ada pada Rasulullah. Dengan demikian dapat dikatakan, pada diri Rasulullah terakumulasi karakteristik pemimpin yang sukses.

Tentunya untuk saat ini, tidak mudah bagi kita untuk memilih seorang pemimpin seperti Rasulullah saw. Tapi paling tidak kita bisa memilih pemimpin yang banyak meneladani sifat dan karakter kepemimpinan Rasulullah. Misalnya untuk kondisi bangsa saat ini mungkin diperlukan seorang pemimpin yang demokratis, tapi dapat bertindak tegas dalam mengambil keputusan yang tepat.

Ironis sekali memang  daerah yang mayoritas umat Islam ini, tetapi masih meraba-raba siapa untuk kita jadikan pemimpin . Dan siapa orang-orang yang paling tepat dalam memimpin  lima tahun mendatang. Padahal sudah seharusnya umat Islam banyak belajar dan mengenal bagaimana kepemimpinan Rasulullah.

Metodologi mengangkat pemimpin

Banyak teori yang mencirikan bagaimana karakteristik pemimpin yang baik itu. Umumnya, terori-teori itu berasal dari bangsa Barat. Menggunakan ilmu dari barat, perlu perhatian ekstra. Dalam hal ini kita perlu merenungi pesan almarhum Dr. Abdullah Azzam. “Silahkan belajar ilmu alam dari Barat, tetapi jangan belajar ilmu sosial dari Barat” waalahu a’lam.

Sebagai seorang muslim, daripada menggunakan metodologi memilih pemimppin secara westernisasi, lebih baik menggunakan metodologi yang dikembangkan para ilmuwan muslim. Salah satu diantaranya oleh Ibnu Taimiyyah.

Menurut Ibnu Taimiyah metodologi pengangkatan seorang imam atau pemimpin sebagai berikut:

1. Mengangkat yang paling layak dan sesuai

Rasululllah bersabda: “Barangsiapa mengangkat seseorang untuk mengurus perkara kaum muslimin, lalu ia mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang yang lebih layak dan sesuai daripada yang diangkatnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya”

Sementara itu Umar bin Khathab berkata: ”Barang siapa mengangkat seseorang untuk perkara kaum muslimin, karena ia dicintai dan karena kekerabatan, maka ia berkhianat kepada Allah, Rasulnya dan kaum muslimin”

Dalam hadits yang lain Rasululullah juga melarang memberikan jabatan kepada orang yang meminta jabatan kepada orang yang meminta untuk mengusulkan diri atas jabatan itu. Karena saat ini banyak calon pemimpin yang menawarkan diri dan meminta untuk dipilih, dengan berbagai cara kampanye dan promosi agar mereka dipilih. Maka saat ini kita perlu melihat dibalik keinginan dipilih yang kita lihat. Tentu keinginan itu dilandasi berbagai alasan, apakah memang ambisi pribadi, keinginan umat, atau motif lainnya. Tentunya kita perlu jeli, memilih pemimpin yang menawarkan diri karena dilatarbelakangi oleh desakan dan dorongan umat atau sebagian besar masyrakat. Dan, yang jelas Rasullulah melarang memberikan suatu jabatan untuk orang-orang yang memang menghendaki jabatan tersebut.

2. Memilih yang terbaik, kemudian yang di bawahnya

Masalahnya akan timbul manakala ada orang yang benar-benar layak dan sesuai itu jarang ditemukan. Solusinya, dari sejumlah calon yang akan diseleksi dan dipilih yang terbaik. Orang yang terpilih itu hendaknya memenuhi dua kriteria yaitu quwwah (kuat) dan amanat (jujur dan dapat dipercaya). Dasarnya firman Allah:

... إِنَّ خَيرَ مَنِ اسْتَأجَرْتَ القَوِيُّ الاَمِينَ

”Karena sesungguhnya orang yang paling baik untuk kamu ambil untuk (bekerja kepada kamu) adalah orang yang kuat lagi dipercaya.” ( QS 28 : 26 ).

Dalam pemerintahan, kekuatan adalah sikap adil sebagaimana dicontohkan Al Qur’an dan As Sunnah di samping aktualisasinya ditengah masyarakat. Dan pemimpin yang amanat erat kaitannya dengan rasa takut kepada Allah.

3. Sedikitnya manusia mempunyai sifat quwah dan amanat

Realitasnya orang memiliki sifat quwwah dan amanat sekaligus sangatlah jarang. Jika yang ada hanya orang yang bersifat quwwah dan amanat, maka prioritas utama ditentukan menurut kebutuhan di wilayah yang dipimpinnya. Dalam suasana yang kacau dan tidak aman, tentu pemimpin yang kuat dan berani lebih bermanfaat daripada pemimpin yang jujur tetapi lemah. Imam Ahmad pernah ditanya siapakah yang lebih pantas untuk menjadi panglima perang, orang kuat tetapi pendosa ataukah orang shaleh tapi lemah. Jawab Imam Ahmad orang yang lebih pantas adalah orang yang kuat meskipun pendosa. Karena kekuatannya akan menguntungkan orang banyak. Sementara kesukaannya berbuat dosa hanya berdampak untuk dirinya sendiri. Sebaliknya orang yang shaleh tetapi lemah, keshalehannya hanya akan bermanfaat bagi dirinya sendiri sementara kelemahannya akan merugikan banyak orang. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah sering mengangkat Khalid bin Walid menjadi panglima perang. Meskipun ada sahabat lain yang lebih shaleh.

4. Metodologi untuk mengangkat yang layak dalam pengangkatan

Seorang pemimpin (Imam sholat) atau khathib pastilah ia seorang panglima perang dan pemegang jabatan lainnya. Itulah yang dicontohkan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Untuk itulah proses pemilihan imam sholat yang dicontohkan Rasulullah digunakan dalam mengangkat orang yang paling tepat menjadi pemimpin.

Karena itu dalam masjid sebetulnya tempat pengkaderan calon pemimpin yaitu melalui aktivitas sholat jamaah. Di masjid akan ditemukan suatu miniatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada imam (pemimpin), ada makmum (rakyat) dan ada syarat atau rukun sholat berjamaah.

Lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, bangsa ini telah mengalami 6 periode masa kepemimpinan. Namun, keadilan dan kemakmuran belum bisa dinikmati secara nyata. Masih perlukah ini dipertahankan? Mengapa tidak ada keberanian mencoba metodologi yang ditawarkan Rasulullah? Ingatlah sejarah Umar bin Abdul Aziz. Beliau hanya perlu waktu 29 bulan untuk mengubah negara yang kacau menjadi negara yang adil dan merata. Beliau bisa berhasil karena menggunakan metodologi Rasulullah saw. Pada masa Umar bin Abdul Aziz inilah bisa kita lihat, bahwa sesuatu yang dimulai dengan kebenaran akan menghasilkan sesuatu yang benar. Pada saat itu Umar bin Abdul Aziz di pilih dan diangkat oleh rakyatnya, bukan minta dipilih dan diangkat. Sehingga yang pada saat pelantikan beliau mengatakan bahwa kepemimpinan yang dipegangnnya adalah suatu beban berat namun, beliau akan memikul amanah itu karena itu adalah kehendak rakyat. Karena itulah, saat mengetahui dipilih menjadi khalifah, beliau berucap “Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun” dan bukannya sujud syukur atau bahkan malah syukuran.

Daerah ini sebetulnya memiliki banyak calon pemimpin, namun untuk mencari profil pemimpin yang adil saat ini jauh dari harapan. Tetapi kita tidak boleh putus asa. Kita wajib berusaha semaksimal mungkin. Untuk memilih  siapa pemimpin kita.

والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وإن الله لمع المحسنين

“Dan barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka Allah pasti akan menunjukkan jalan keluar.” (QS. 29 :69).

Marilah kita mengambil sikap menyiapkan generasi baru yang quwwah dan amanat. Dan untuk saat ini diperlukan, orang-orang berbakat, amanah dan professional. Semoga Allah meridhoi kita dan menunjukkan kepada kita seorang pemimpin yang baik.

Kisah Pemimpin Legendaris - Umar Bin Khatab

Umar Ibn Khattab, penguasa (Khalifah), yang kekuasaannya meliputi jazirah yang amat luas dan begitu disegani oleh lawan-lawannya. Namun, kekuasaannya tiada mempunyai arti apa-apa dibandingkan dengan rasa takutnya kepada Allah Azza Wa Jalla. Umar yang lebih mengutakamakan keselamatan rakyatnya, hingga hatinya menjadi terguncang hebat, ketika ada seorang rakyatnya menderita akibat tertimpa gempa. Umar mendengar rintihan orang yang sakit, keluhan orang yang kehilangan haknya dan mengatakan kepadanya :

“Takutlah anda kepada Allah, hai Umar!” Nah, pernahkah anda mendengar peristiwa seperti itu …? Di mana .. , dan bilamana .. ?

Lalu, beberapa orang mengejar laki-laki itu dengan murka, tetapi Umar memanggil mereka agar kembali ke tempat semula. Di mana Umar duduk di dalam sebuah majelis, ketika seseorang masuk, dan menghampirinya seraya mengutarakan perasaannya, yang sangat tidak suka atas musibah yang dialaminya bersama keluarganya, akibat gempa.

Orang itu, yang menyeruak masuk ke dalam majelis sambil menyemburkan kata-katanya : “Oh, Andakah Umar? Bencana dari Allah akan menimpamu, hai Umar!”. Tapi, setelah mengucapkan itu, laki-laki itu, pergi meninggalkan Umar. Orang yang pergi meninggalkan Umar itu, tersusul, dan oleh Umar disuruh duduk kembali. Lalu, orang yag mengatakan : “Bencana dari Allah akan menimpamu Umar!” itu ditanyai oleh Umar.

“Katamu hai kawan, saya akan beroleh bencana dari Allah … , kenapa?” tanya Umar. “Ya”, ujar laki-laki itu, “Karena para pejabat dan pembesar Anda tidak menegakkan keadilan, malahan berbuat keaniayaan”. “Pejabat-pejabat saya yang mana yang Anda maksudkan?” tanya Umar. “Pejabat Anda yang berada di Mesir, yang bernama ‘Iyadh bin Ghanam”, ujar laki-laki itu. Tak lama setelah mendengarka pengaduan laki-laki itu, dipilihlah oleh Umar dua orang diantara para sahabatnya itu, kemudian Umar berpesan,” Berangkatlah tuan-tuan ke Mesir, dan segera bawa kemari ‘Iyadh bin Ghanam.” Dan, 'Iyad bin Ghanam oleh Umar dipecat sebagai gubernur, hanya kalalaiannya, tidak memperhatikan rakyatnya yang terkena musibah.

Laki-laki yang tubuhnya tinggi besar, dan memiliki keberanian yang luar biasa, tiba-tiba menjadi gemetar, lunglai dan tak dapat tegak berdiri ketika mendengar, “Tidakkah Anda takut kepada Allah, wahai Umar?”

Saat Umar menghadapi sakaratul maut, dia berkata kepada puteranya Abdullah, “Hai Abdullah, pindahkanlah kepalaku dari bantal ini, letakkanlah diatas tanah, semoga Allah menaruh belas kasihan padaku,” ucap Umar. Tak ada bencana yang lebih ditakuti oleh Umar, kecuali yang dikhawatirkan akan menimpa peruntungannya, selain bencana terkucil atau tejauhkan dari ridha Ilahi, dan menyimpang dari Rasul-Nya.

Umar mencatat hari kelahirannya yang baru, ketika ia mengucapkan dua kalimah syahadat di depan Rasulullah Shallahu alaihi wa salam, “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.

Ia khawatir saat ucapan-ucapannya yang telah lalu itu, yang keluar dari mulutnya itu menyimpang dari garis kebenaran. Ia begitu mengkhawatirkan perbuatan-perbuatannya tergelincir dari jalan yang seharusnya dilalui,yaitu al-haq. Umar, begitu cemas, jika kehidupannya ternoda oleh dosa-dosa kehidupan, yang tak terampuni oleh Rabbnya. Maka, Umar hidupnya selalu penuh dengan kegelisahan, yang menghasilkan kemantapan jiwanya.

Begitupun matanya, yang tak hendak terpejam, dan selalu diisinya dengan berpikir dan berkarya. Makannya sedikit, tak pernah kenyang perut dengan makanan, dan tak hendak makan makanan yang lezat. Makan hanya sekadar menunjang hidup. Ia jarang tidur,hingga boleh dikatakan ia selalu terjaga. Ungkapannya,

“JIka saya tidur malam, berarti saya menyia-nyiakan diri saya. Dan, jika saya tidur siang, berarti saya mengabaikan rakyat jelata,” ujar Umar.

Semua rasa malu, semua kecemasan dan ketakutan, semua kemauan baik dan cita-cita mulia, sebabnya tiada lain, hanyalah karena Umar bingung dan tiadk tahu apa yang akan dikatakannya kepada Rabbnya nanti di akhirat… Subhanallah.

Bagaimana seorang pemimpin yang rakyatnya ratusan, mungkin ribuan,meninggal terkena musibah, tapi masih tersenyum-simpul, dan tidur nyenyak sambil bermimpi tentang kekuasaan? Bagaimana mereka di hadapan Allah Rabbul Aziz nanti?

Kekayaan Umar Bin Khattab

Lantas, bagaimana dengan kekayaan Umar bin Khattab sendiri? Khalifah setelah Abu Bakar itu dikenal sangat sederhana. Tidur siangnya beralaskan tikar dan batu bata di bawah pohon kurma, dan ia hampir tak pernah makan kenyang, menjaga perasaan rakyatnya. Padahal, Umar adalah seorang yang juga sangat kaya.

Ketika wafat, Umar bin Khattab meninggalkan ladang pertanian sebanyak 70.000 ladang, yang rata-rata harga ladangnya sebesar Rp 160 juta—perkiraan konversi ke dalam rupiah. Itu berarti, Umar meninggalkan warisan sebanyak Rp 11,2 Triliun. Setiap tahun, rata-rata ladang pertanian saat itu menghasilkan Rp 40 juta, berarti Umar mendapatkan penghasilan Rp 2,8 Triliun setiap tahun, atau 233 Miliar sebulan.

Umar ra memiliki 70.000 properti. Umar ra selalu menganjurkan kepada para pejabatnya untuk tidak menghabiskan gajinya untuk dikonsumsi. Melainkan disisakan untuk membeli properti. Agar uang mereka tidak habis hanya untuk dimakan.

Namun begitulah Umar. Ia tetap saja sangat berhati-hati. Harta kekayaannya pun ia pergunakan untuk kepentingan dakwah dan umat. Tak sedikit pun Umar menyombongkan diri dan mempergunakannya untuk sesuatu yang mewah dan berlebihan.
 
Berbeda jauh dengan pemimpin jaman sekarang bisa jadi pemimpin karena uang bukan karena kemampuan yang dimiliki dan setelah berkuasa tentulah uang yang dicari walaupun harus dengan korupsi,kolusi dan nepotisme tanpa peduli masih banyak rakyat yang kelaparan.

Menjelang akhir kepemimpinan Umar, Ustman bin Affan pernah mengatakan, “Sesungguhnya, sikapmu telah sangat memberatkan siapapun khalifah penggantimu kelak.” Subhanallah! Semoga kita bisa meneladani Umar bin Khattab. (sa/berbagaisumber/Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khattab/khalifa)