BEDAH KORUPSI

APAKAH KORUPSI ITU
 
Secara sederhana, korupsi adalah penyalahgunaan sumber daya publik untuk keuntungan pribadi. Ahli sosiologi korupsi, Syed Husein Alatas mendefinisikan bahwa korupsi pada intinya adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi.
Bagaimanakah suatu perbuatan itu bisa digolongkan korupsi dan bukannya sebagai pencurian, perompakan, dsb? Meskipun sebenarnya esensinya adalah sama, tetapi korupsi tetap memilikiciri-ciri korupsi tersendiri. Berikut ciri-ciri korupsi menurut Alatas:
a) Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan
b) Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta dan masyarakat umumnya
c) Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus
d) Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang yang berkuasa atau bawahannya menganggap tidak perlu
e) Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak,
f) Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain,
g) Terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya,
h) Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum, dan
i) Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi.

Korupsi dapat dirumuskan sebagai sebuah persamaan untuk memudahkan pemahaman :

C = N + K

Kriminal/Korupsi = Niat + Kesempatan
Sering diperdebatkan apakah korupsi itu merupakan masalah moral atau sistem. Dikaitkan dengan
rumusan diatas dapat dikatakan :

N [niat] dapat dihubungkan dengan faktor moral, budaya, individu, keinginan, dsb;
K [kesempatan] dapat dihubungkan dengan faktor sistem, struktur sosial, politik dan ekonomi, struktur pengawasan, hukum, permasalahan kelembagaan, dll.

Perpaduan berbagai faktor tersebut itulah yang menyebabkan korupsi. Artinya, apabila ada niat untuk melakukan korupsi tetapi tidak ada kesempatan, maka perbuatan korupsi tersebut tidak akan terjadi. Sebaliknya bila kesempatan untuk melakukannya terbuka lebar tetapi niat untuk melakukannya sama sekali tidak ada, maka tindak korupsi juga tak akan terjadi.

Selain rumusan diatas, rumusan dari Robert Klitgaard mengenia korupsi:

C = M + D – A

Corruption = Monopoly + Discretion – Accountability
Monopoly : Penguasaan ekonomis terhadap aset
Discretion : Kewenangan mengelola aset
Accountability : Pertanggungjawaban

Berdasarkan rumusan tersebut, semakin besar kekuasaan ekonomi dan kewenangan pengelolaan aset dan semakin rendah kewajiban pertanggungjawaban dari suatu institusi/person, maka semakin tinggi potensi korupsi yang dimiliki.

Salah satu rumusan mengenai monopoli sumber daya dan kekuasaan di Indonesia adalah Bureaucratic Polity dari Karl Jackson. Intinya Jackson melihat bahwa Indonesia adalah suatu sistem politik yang kekuasaan dan partisipasi dalam pembuatan keputusan nasional terbatas pada tingkat tertinggi birokrasi, militer dan teknokrat. Jackson kemudian menambahkan bahwa mereka –para pemegang kekuasaan itu —jumlahnya kurang dari 1000 orang terdiri dari para pejabat publik dan keluarganya, suatu jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan penduduk Indonesia. Elit politik
secuil dengan kekuasaan yang maha besar dan tanpa pengawasan ini [M + D – A], akhirnya menjadi sumber kesewenang-wenangan dan korupsi


BAGAIMANA CARA KORUPTOR BEKERJA?

Sebenarnya cara kerja koruptor dimanapun sama saja, yang membedakan adalah kesempatan yang berbeda karena dimensi waktu dan tempat yang berbeda. Sebagai contoh Robert Klitgaard dalam pengamatannya terhadap BIR [Dirjen Pajak Filipina] menemukan bahwa korupsi di BIR dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk, korupsi eksternal dan internal. Yang pertama, korupsi eksternal, yaitu korupsi yang dilakukan seseorang [suatu pihak] dalam berhubungan dengan pihak luar lembaganya. Beberapa bentuk yang ditemukannya adalah:
1. Pembayaran untuk jasa-jasa wajib, yaitu uang pelicin atau tambahan uang untuk melancarkan jasa yang seharusnya dilakukan tanpa biaya atau dengan biaya resmi yang kecil.
2. Pembayaran bagi jasa-jasa yang tidak halal. Jenis ini adalah uang yang dibayarkan untuk dilakukannya suatu pekerjaan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi pembayar.
3. Pungutan uang untuk menjamin agar seseorang tidak dirugikan. Model ini memanfaatkan ketidaktahuan orang mengenai sesuatu/information assymmetry, sehingga orang yang mempunyai informasi dapat meminta uang atas jasa yang dilakukan dengan informasi tersebut.

Kedua adalah korupsi internal, yaitu korupsi yang dilakukan seseorang [suatu pihak] dalam lingkup lembaganya sendiri. Bentuknya adalah:
1. Penggelapan melalui pemalsuan catatan. Yang dilakukan adalah membuat catatan palsu yang dapat memberinya keuntungan atas catatan tersebut.
2. Mencetak label dan materai secara berlebihan. Korupsi jenis ini dilakukan dengan mencetak suatu dokumen atau leges palsu yang dapat dijual atau mendatangkan uang.
3. Jual-beli jabatan. Jenis ini dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan untuk menentukan jabatan seseorang. Jenis ini dapat dilakukan melalui mekanisme sogokan, nepotisme dan pengaruh untuk mendapatkan suatu jabatan.
4. Menunda setoran, yaitu memperlambat masa penyetoran dan dimanfaatkan untuk “diputar” terlebih dahulu,
5. Korupsi terhadap sistem pengawasan internal. Jenis ini bahkan mengakali suatu sisem pengawasan yang ditujukan untuk mencegah korupsi, yaitu dengan menyuap aparat pengawasan untuk tidak melaporkan apa yang mereka temukan.

Contoh di atas dapat kita temukan disekitar kita. F Rahardi, seorang wartawan, pernah mengidentifikasi setidak-tidaknya ada 7 pola korupsi yang sering ditemui di Indonesia. Tujuh pola ini dibangun dengan mengkombinasikan berbagai definisi korupsi diatas dan –seperti halnya Klitgaard–dibagi menjadi dua, yaitu pola korupsi internal dan eksternal, yaitu:

Pertama, Pola Korupsi Internal, yaitu korupsi yang dilakukan seseorang [suatu pihak] dalam lingkup lembaganya sendiri. Terdiri dari:
1. Pola Konvensional. Korupsi jenis ini merupakan bentuk yang paling konvensional, dan pada bentuk yang ekstrem dimaknai orang sebagai pencurian terhadap aset milik lembaga atau yang lebih lunak adalah penggunaan aset lembaga untuk keperluan pribadi. Bentuk yang umum dilakukan misalnya adalah penggunaan uang kantor untuk keperluan pribadi, dll.
2. Pola Kuitansi Fiktif/Dokumen Palsu. Korupsi jenis ini dilakukan dengan membuat dokumen palsu yang mendukung transaksi atau tindakan yang dilakukan. Contohnya adalah seperti pemalsuan kuitansi yang dilakukan oleh petugas bagian pembelian/mark-up.
3. Pola Menjegal Order adalah pola korupsi yang dilakukan dengan cara menelikung order yang didapat seseorang pada suatu persh, tetapi malah dikerjakan sendiri atau dilempar kepada pihak lain yang lebih menguntungkan dirinya. Misalnya yang sering dilakukan oleh para tenaga penjual, yaitu dengan mengerjakan sendiri sebuah order atau menyerahkannya keperusahaan lain untuk mendapatkan komisi yang lebih besar.
4. Pola Upeti. Korupsi jenis ini lazim dilakukan oleh seorang pegawai terhadap atasannya untuk memperoleh perlakuan istimewa yang tidak berdasarkan kondisi objektif. Contoh yang paling mudah ditemui misalnya pegawai suatu kantor yang memberi sejumlah uang kepada pegawai personalia untuk memudahkan urusannya [misal: kenaikan pangkat].

Kedua, Pola Korupsi Eksternal, yaitu korupsi yang dilakukan seseorang [suatu pihak] dalam
berhubungan dengan orang/pihak diluar lingkup lembaganya. Terdiri dari:
1. Pola Komisi, yaitu korupsi yang dilakukan dengan memungut sejumlah tertentu untuk memperlancar atau meringankan urusan yang harus dilakukan. Contohnya misalnya adalah seorang petugas pajak yang memungut komisi untuk menurunkan pajak yang harus dibayar seseorang.
2. Pola Perusahaan Rekanan adalah yang sering dilakukan oleh kepala kantor atau pimpinan proyek. Suatu pekerjaan yang harusnya ditawarkan kepada publik tetapi ditelikung dengan cara menyerahkannya kepada sebuah perusahaan yang diistimewakan karena mempunyai suatu hubungan khusus.
3. Pola penyalahgunaan wewenang atau jabatan biasanya lebih dikenal pungli, uang pelicin, suap, uang semir dan lain sebagainya. Tindakan korupsi ini dimaksudkan untuk dapat memperlancar urusan. Korupsi jenis ini mudah untuk ditemui dan hampir merata diseluruh Indonesia, karena itu cenderung menjengkelkan masyarakat.


BAGAIMANA KORUPSI ITU MERUSAK?

Korupsi sebagai tindakan yang penyalahgunaan kepercayaan publik merusak dalam wujud:

1. Inefiensi penggunaan sumber daya publik
Bentuk umum yang terjadi adalah pemborosan dan kemubaziran sumber daya publik. Sebagai contoh, jalan raya berkapasitas 5 ton tercatat di pengeluaran pemerintah menghabiskan biaya sejumlah pembuatan jalan dengan kapasitas 20 ton dengan daya tahan selama 2 tahun. Akibatnya, jalan berkapasitas 5 ton tersebut dilewati beban hingga 20 ton sehingga kurang dari 2 tahun jalan tersebut sudah rusak.

2. Inefiensi kebijakan untuk kepentingan publik
Inefisiensi terjadi manakala suatu kebijakan yang kurang menguntungkan masyarakat dan tidak/kurang tepat sasaran dipilih. Misalnya, suatu daerah memiliki penderita TBC sejumlah 10 % dari total penduduk dan 0 % penderita AIDS. Penduduk daerah tersebut mayoritas mata pencahariannya nelayan dan sangat minim fasilitas hiburan. Depkes mengalokasikan dana sejumlah Y rupiah untuk penanganan dan pengobatan TBC dan penyakit dan dana sejumlah 25 % Y untuk pencegahan dan penanggulangan AIDS; dengan kata lain alokasi untuk TBC dan AIDS 4 : 1. Dengan membandingkan antara prosentase penderita terhadap alokasi dana, sewajarnya timbul pertanyaan: proporsionalkah alokasi dana kesehatan tersebut?Jawabannya tidak karena, walaupun misalnya biaya pencegahan AIDS per orang ± 4 kali biaya pengobatan penderita TBC, dengan kondisi daerah seperti yang digambarkan diatas, sulit dikatakan bahwa potensi penularan AIDS adalah 10 % jumlah penduduk. Jika demikian, kenapa diputuskan alokasi dana seperti itu? Dengan menggunakan presume of guilt ada kemungkinan hal itu sengaja diadakan, baca: mengada-ada, karena “proyek”pencegahan AIDS adalah proyek basah.


APA YANG MENYEBABKAN KORUPSI?
 Kasus 1

Kemiskinan –kata orang– merupakan akar dari persoalan; tanpa kemiskinan tidak akan ada korupsi. Apabila kemiskinan merupakan penyebab korupsi, bagaimana menjelaskan mengapa mereka yang terlibat korupsi besar-besaran justru bukan orang miskin; banyak diantara mereka adalah orangorang yang mempunyai uang dan kekuasaan.

“Hukum Kesepadanan Korupsi”
Fenomena bahwa korupsi tidak berbanding lurus dengan kemiskinan dapat dijelaskan dengan “Hukum Kesepadanan Korupsi” yang dirumuskan oleh Revrisond Baswir. Hukum ini menyatakan korupsi berbanding lurus dengan kekayaan seseorang. Artinya, semakin kaya seseorang, semakin besar kekuasaan yang dimilikinya dan dengan demikian semakin besar jumlah yang potensial dikorup.

Kasus 2
Dua kasus korupsi besar yang terbuka luas kepada publik dalam Pelita ke-6 [1993-1998] adalah:
· Kasus korupsi Edi Tansil, yaitu korupsi yang melibatkan Sudomo, Ketua DPA, direksi Bapindo dan JB Sumarlin, mantan Menteri Keuangan yang saat itu menjabat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Melibatkan sejumlah uang yang mencapai Rp 1,3 trilyun
· Kasus korupsi Haryanto Dhanutirto, yaitu kasus korupsi Menteri Perhubungan yang jauh sebelum menjadi menteri sebenarnya sudah kaya

Dua kasus ini memperlihatkan bahwa Hukum Kesepadanan Korupsi berlaku di sini, dimana para pelakunya adalah orang-orang yang sudah kaya dan mempunyai kekuasaan. Siapa yang dapat dikategorikan miskin di sini?

Bagaimana pendapat anda mengenai fenomena Hukum Kesepadanan Korupsi ini?

Tetapi, penjelasan tersebut tidak dapat memungkiri fakta yang kita ketahui sehari-hari, bahwa orang miskin, para pegawai kecil, juga banyak terlibat pada kasus korupsi. Oke, kemiskinan mungkin penyebab, tetapi tetap bukanlah penyebab yang utama kerugian keuangan negara. Individu dan kelompok dengan tindak korupsi yang berdampak besar terhadap keuangan negara relatif sedikit jumlahnya, apalagi mereka melakukan korupsi tersebut tidak kelihatan menyolok bagi warga negara biasa. Semaunya dilakukan secara tertutup, terhormat dan berusaha untuk dilegalkan dengan peraturan yang dibuat.

Di Indonesia, dimana elitnya sangat korup, pemerintah tidak mampu untuk membayar pegawai negeri secara memadai. Penghasilan yang tidak sepadan ini dapat saja dianggap sebagai penyumbang sebab terjadinya korupsi pada tingkatan rendah, kalau tidak pada seluruh sistem.

Kasus 3
Korupsi yang sering terjadi pada pelayanan publik, seperti KTP dan SIM, seringkali dilakukan oleh para pegawai rendahan. Secara kasar dapat dilihat mereka yang menawarkan jasa untuk menguruskan KTP di kecamatan adalah para pegawai rendahan. Yang lebih mudah untuk diamati adalah pada pengurusan SIM, dimana para polisi yang menawarkan jasa untuk menguruskan dapat dilihat tanda pangkatnya. Tidak pernah seorang letnan menawarkan jasa untuk mengurus SIM. Semuanya pasti sersan ke bawah.

Berapa sebenarnya gaji resmi para pegawai rendahan tersebut, baik pada kecamatan atau kepolisian? Bagaimana pendapat anda mengenai korupsi pada tingkat bawah? Dengan demikian, korupsi sebenarnya adalah pedang bermata dua, yang dapat muncul ditengah-tengah kemewahan dan kekurangan.

Tetapi, apakah korupsi hanya masalah memiliki dan tidak memiliki, kaya – miskin. Tentu saja tidak. Sebab, sebagaimana rumusan C=M+D-A, akuntabilitas merupakan variabel dari tingkat korupsi.


SEBERAPA PARAHKAH KORUPSI DI INDONESIA?

Karena korupsi di Indonesia merupakan fenomena yang sangat umum, maka tentunya ada sesuatu yang salah dalam sistem pengawasan dan kontrol sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Kesalahan sistem ini terjadi sejak pada birokrasi pemerintahan, swasta, masyarakat umum maupun keluarga sebagai unit terkecil masyarakat Indonesia. Kita dapat meminjam klasifikasi luas paparan korupsi terhadap masyarakat berikut dari Robinson,
1. Insidental/individual. Korupsi insidental/individual ini dilakukan oleh pelakunya secara individual pada suatu lingkungan/lembaga tertentu, yang sebenarnya lembaga tersebut termasuk “bersih” dalam hal korupsi. Korupsi semacam ini hanya dikenal pada negara-negara yang korupsinya sangat rendah, misalnya: Selandia Baru, Denmark dan Swedia, yang menurut Corruption Index Transparency International menempati peringkat 1, 2 dan 3 negara terbersih.
2. Institusional/kelembagaan. Korupsi disebut institusional apabila melanda suatu lembaga atau suatu sektor kegatan tertentu, di mana keseluruhan sektor atau lembaga secara makro tidak korup.
3. Sistemik [societal]. Pada kasus semacam ini korupsi sudah menyerang seluruh masyarakat dan sistem kemasyarakatan. Karena itu dalam segala proses kemayarakatan, korupsi menjadi rutin dan diterima sebagai alat untuk melakukan transaksi sehari-hari. Hal semacam ini disebut sebagai korupsi sistemik, karena sudah mempengaruhi secara kelembagaan dan mempengaruhi perilaku individu pada semua tingkat sistem politik dan sosio ekonomi. Korupsi jenis ini mempunyai beberapa ciri, yaitu:
a. Inklusif dengan lingkungan sosial budayanya. Inklusif dalam arti sudah diterima sebagai kenyataan dalam konteks sosial budaya masyarakat.
b. Cenderung menjadi monopolistik. Hal ini berarti korupsi sudah menguasai semua system kemasyarakatan dalam masyarakat, sehingga masyarakat sulit untuk mendapatkan system kemasyarakatan yang wajar, tanpa korupsi.
c. Terorganisasi dan sulit untuk dihindari. Karena sudah menjadi proses rutin dalam kehidupan sosio ekonomi, maka korupsi menjadi terorganisasi, sadar maupun tak sadar, sehingga secara otomatis semua proses sistem kemasyarakatan akan terkena.

Korupsi semacam ini tumbuh subur pada sistem kemasyarakatan yang mempunyai beberapa ciri, yaitu: kompetisi politik yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, civil society yang lemah, serta tiadanya mekanisme kelembagaan untuk berurusan dengan korupsi. Sebaliknya, sistem kemasyarakatan yang relatif bebas dari korupsi mempunyai beberapa ciri seperti: menghormati kebebasan sipil, pemerintah yang amanah [accountable], banyaknya kesempatan untuk berusaha secara ekonomis dan kompetisi politik yang terstruktur. Melihat keadaan di Indonesia, semua orang tentu akan sepakat bahwa korupsi di Indonesia sudah mencapai tahap sistemik [societal], karena semua ciri yang melekat pada korupsi semacam ini sudah terpenuhi.

Kasus 4
Anda pasti tahu bahwa korupsi di Indonesia sudah mencapai tahap sistemik, menginvasi seluruh sektor pemerintah, swasta, bahkan mencapai tingkat keluarga.

Nah, misalkan orang tua anda adalah pegawai negeri. Anda pasti mengetahui berapa gaji pegawai negeri, sedangkan anda sekeluarga hidup secara berkecukap [tentu ukuran kecukupan itu relatif]. Bersediakan anda menanyakan dari mana orang tua anda mendapatkan keseluruhan penghasilan untuk menghidupi keluarga secara layak? Darimana saja sumbernya?


KONTROL MASYARAKAT

Jika hanya menyalahkan pihak pemerintah dan birokrasi sebagai penyebab korupsi, rasanya tidak adil jika kita melihat kenyataan bahwa maraknya pembukaan kasus korupsi, demonstrasi penurunan kepala desa, tumbuhnya lembaga independen anti korupsi baru marak setelah turunnya Soeharto. Dengan demikian sebenarnya faktor masyarakat ikut berperan dalam kasus korupsi, dalam arti masyarakat selama ini relatif toleran dengan banyaknya kasus korupsi. Artinya, jika saja masyarakat sejak dahulu konsisten dengan semangat anti korupsi yang baru ada dalam satu tahun belakangan ini, tentunya peluang terjadinya kasus korupsi besar-besar akan mengecil.

Kasus 5
Adalah sebuah desa di lereng Merapi yang benar-benar menggunakan moment turunnya Suharto, yaitu Wukirsari. Korupsi di kedua desa tersebut dilakukan oleh para pamong praja dan telah berlangsung bertahun-tahun dengan tanpa ada kontrol. Hanya saja keberanian dan kesungguhan untuk melawan korupsi, baru bisa muncul setelah ruang publik menjadi meluas dengan turunnya Suharto. Tentu saja hal ini berlangsung karena adanya sebuah organisasi massa yang kongkret yang dimotori oleh kesadaran (bisa jadi kemarahan) bahwa mereka telah sekian lama menjadi korban. Hal ini ditandai dengan langkah investigasi yang rencana dilakukan selama seminggu, dengan menanyai penduduk yang pernah menjadi korban dan kerugiannya.

Ternyata respon masyarakat sangat besar, hingga seminggu berlalu, laporan yang masuk ke APMD –demikian nama gerakan massa di Desa Wukirsari- justru semakin banyak. Dengan gambaran ini, mungkin kita layak untuk menanyakan mengapa masyarakat sama sekali tidak tergerak meski selama bertahun-tahun menjadi korban dan tiba-tiba saja semua itu tertumpah menjadi sebuah gerakan rakyat pada moment tertentu.

Di sisi atas, memang reformasi administratif yang membongkar persoalan struktural pemerintahan terpusat perlu dilakukan. Tetapi karena persoalan korupsi yang dialami Indonesia sudah mencapai tahap sistemik dan memasyarakat bahkan diterima sebagai suatu kenyataan dalam konteks sosial budaya masyarakat, serta terorganisir dengan baik dan sulit dihindari, maka upaya memperkuat posisi dan peran rakyat dalam memberi arah perjalanan dan mengawasi pemerintah perlu dilakukan.

Untuk mendukung hal tersebut perlu dilakukan penguatan masyarakat sipil sebagai pondasi untuk memerangi korupsi. Diantaranya adalah dengan memberdayakan dan dengan mendidik masyarakat agar mampu melawan dan bangkit melawan korupsi yang sistemik ini. Pemberdayaan tersebut merupakan usaha untuk memperluas akses dan melindungi berbagai sumber daya ekonomi dan politik rakyat. Selain itu juga memperkuat organisasi kemasyarakatan dan organisasi yang berasal dari masyarakat lainnya [mahasiswa, NGO, ormas, buruh, dll] yang artikulatif dan visioner sehingga mampu berperan sebagai pengimbang kekuatan negara dan juga perlunya media massa yang artikulatif dan independen.


Dengan begini, lemahnya kontrol masyarakat sebagai salah satu penyebab korupsi dapat dieliminir.


Tulisan ini merupakan hasil modifikasi dari tulisan berjudul 5W + 1 H Korupsi yang dibuat oleh Agam Fatchurrochman, mantan kordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW).

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih koment disini